Just another free Blogger theme

Random Posts

blog tes ombak

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

JamoSiko

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pengikut

Penayangan bulan lalu

Find Us On Facebook

Random Posts

Recent Posts

Video Of Day

Popular Posts

Kamis, 18 September 2025


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, serta seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dirahmati Allah,

Pernahkah kita bertanya: Apakah zuhud berarti meninggalkan dunia sama sekali? Banyak orang keliru memahami zuhud sebagai hidup miskin, lusuh, dan tidak memiliki apa-apa. Padahal, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti menolak harta, jabatan, atau kenikmatan dunia. Zuhud adalah ketika hati tidak terpaut pada dunia, meskipun tangan kita memilikinya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ

“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)

Para ulama menafsirkan hadits ini dengan menjelaskan bahwa zuhud adalah sikap hati yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Ibnul Qayyim menegaskan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki harta, tetapi zuhud adalah ketika harta tidak menguasai hatimu.” Dengan demikian, seorang kaya pun bisa zuhud jika hatinya selalu terikat pada Allah.

Contoh dalam kehidupan sehari-hari, seorang pedagang yang jujur tidak menaikkan harga dengan zalim meski punya kesempatan, karena ia tahu rezeki datang dari Allah, bukan dari tipu daya. Atau seorang pejabat yang tidak korupsi meski ada peluang, karena hatinya zuhud terhadap jabatan dan lebih takut pada Allah.

Tips Agar Bisa Zuhud Menurut Ulama:

  1. Mengingat kefanaan dunia. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan abadi.

  2. Membiasakan hati dengan qana’ah. Menurut Imam Al-Ghazali, merasa cukup adalah kunci kekayaan sejati yang membuat hati tidak tergantung pada dunia.

  3. Perbanyak ibadah sunnah. Ulama salaf mengajarkan bahwa memperbanyak amal akhirat membuat hati lebih condong pada Allah dibanding pada dunia.

  4. Meninggalkan hal-hal yang berlebihan. Imam Ahmad bin Hanbal menyarankan agar seorang muslim tidak berlebihan dalam makan, pakaian, dan harta, agar hati tetap lembut dan zuhud.

  5. Bersahabat dengan orang-orang saleh. Menurut Al-Ghazali, lingkungan yang baik akan memengaruhi hati agar lebih ringan dalam berzuhud.


Penutup

Jamaah yang dimuliakan Allah, zuhud bukan berarti miskin dan menolak dunia, tetapi menempatkan dunia hanya sebagai jalan menuju akhirat. Mari kita isi hati dengan qana’ah, memperbanyak ibadah, dan mengingat kefanaan dunia, agar kita dicintai Allah dan dimuliakan manusia.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Download Full

Dalam sejarah tasawuf, ada satu nama yang selalu dikenang: Dzun Nun al-Mishri (w. 859 M). Beliau berasal dari Mesir dan dikenal sebagai salah satu sufi besar yang hidup dengan penuh cinta kepada Allah. Namanya sering disebut dalam kitab Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.

Jejak Kehidupan

Dzun Nun bukan hanya seorang ahli ibadah, tapi juga seorang yang cerdas dan penuh kebijaksanaan. Ia banyak berkelana, menuntut ilmu, dan bertemu dengan ulama-ulama besar pada zamannya. Karena keluasan ilmunya, beliau sering dijadikan tempat bertanya oleh para pencari ilmu dan para pejalan ruhani.

Tuduhan dan Penjara

Pernah suatu ketika, Dzun Nun dituduh menyebarkan ajaran sesat. Ia ditangkap dan dipenjara. Namun, justru di dalam penjara, banyak orang mendatanginya untuk meminta nasihat. Sikap sabar dan kata-katanya yang penuh hikmah membuat orang-orang sadar bahwa beliau adalah wali Allah yang sejati. Akhirnya, para ulama besar membenarkan keilmuannya dan namanya kembali dimuliakan.

Hikmah Dzun Nun

Salah satu ucapannya yang terkenal adalah ketika beliau ditanya: “Dengan apa seorang hamba bisa mengenal Tuhannya?”
Dzun Nun menjawab:
👉 “Dengan tiga hal: meninggalkan dunia, mengamalkan ilmu, dan mengatur amal sesuai dengan syariat.”

Jawaban ini sederhana, tapi mendalam. Beliau menekankan bahwa jalan menuju Allah bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi juga kesungguhan hati dalam membersihkan niat, menjauhi kesenangan dunia yang melalaikan, serta menjaga amalan agar sesuai dengan tuntunan agama.

Warisan Spiritual

Dzun Nun al-Mishri meninggalkan jejak yang besar dalam dunia tasawuf. Dari beliau, kita belajar tentang kesabaran menghadapi ujian, kesetiaan dalam ibadah, dan ketulusan cinta kepada Allah. Sosoknya menjadi inspirasi bagi banyak generasi setelahnya.


✍️ Pelajaran untuk kita:
Dzun Nun mengajarkan bahwa ibadah sejati adalah ketika hati benar-benar terikat kepada Allah, bukan hanya karena kebiasaan atau formalitas.


Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Download Full

 


Khutbah Pertama

الحمد لله المؤمن، الذي أرسل الرسل بالبينات ليخرج الناس من الظلمات إلى النور بإذن ربهم، نحمده على نعمه التي لا تحصى، ونشكره على فضله الذي لا ينفد، ونعوذ به من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji hanya bagi Allah, Dzat yang memberi rasa aman kepada hati-hati yang beriman. Dialah Al-Mu’min, yang meneguhkan jiwa di saat goncangan, yang menurunkan ketenangan di tengah ketakutan, dan yang memberi cahaya iman dalam hati hamba-hamba-Nya.

Shalawat serta salam mari kita curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, yang hidupnya menjadi teladan penuh keyakinan, lisannya penuh kebenaran, dan hatinya dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita tergolong umat yang mengikuti jejak langkahnya, hingga beroleh syafaatnya di hari akhir nanti.

Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk selalu bertakwa kepada Allah. Takwa adalah benteng yang melindungi kita dari kebinasaan, cahaya yang menuntun kita dalam kegelapan, dan penopang yang menguatkan langkah kita di dunia. Jangan biarkan hati kita kosong dari takwa, sebab tanpa takwa, dunia ini hanyalah gurun tandus yang menyesatkan.


Narasi Pembuka

Filsuf Barat banyak berbicara tentang makna iman dan rasa aman. Plato menganggap iman sebagai bentuk keyakinan pada kebenaran yang lebih tinggi dari realitas duniawi. Dalam pandangannya, iman melahirkan rasa aman karena jiwa terhubung dengan kebenaran yang abadi.

Aristoteles melihat iman dalam konteks etika sebagai keyakinan yang melahirkan keberanian moral. Bagi dia, orang yang beriman pada kebenaran akan memiliki rasa aman dalam dirinya, sebab ia berdiri di atas keyakinan yang tidak mudah goyah.

Sementara itu, filsuf modern seperti Kierkegaard menekankan bahwa iman adalah lompatan eksistensial: menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan meski akal terbatas. Dari iman itulah lahir rasa aman sejati, sebab hati bersandar pada kekuatan yang tak terbatas.


Definisi Ulama

Namun para ulama Islam menegaskan bahwa Al-Mu’min adalah nama Allah yang berarti Dia-lah yang memberi keamanan dan rasa aman kepada hamba-Nya. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Al-Mu’min adalah yang meneguhkan hati dengan iman, yang menyelamatkan hamba dari rasa takut, dan yang menjamin keselamatan di dunia dan akhirat.


Dalil Al-Qur’an

Allah berfirman:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
(QS. Al-Hashr: 23)

“Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”


Tafsir dan Penjelasan

Para mufassir menjelaskan bahwa Allah disebut Al-Mu’min karena Dia yang meneguhkan hamba-hamba-Nya dengan iman, dan Dia pula yang memberi rasa aman dari segala rasa takut. Ibn Katsir menafsirkan bahwa Allah menjaga hamba-Nya dari kezaliman dan memberi mereka keamanan di dunia serta keselamatan di akhirat.

Dengan demikian, rasa aman sejati tidak datang dari harta, jabatan, atau kekuatan, melainkan dari Allah Al-Mu’min yang menenangkan hati dan menjaga hamba-Nya.


Keamanan seperti apa yang Allah berikan?

Pertama, Allah memberi keamanan lahiriah. Berapa banyak dari kita yang bisa tidur dengan nyenyak malam ini tanpa rasa takut? Itu adalah nikmat keamanan dari Allah. Lihatlah saudara-saudara kita di negeri yang dilanda konflik, mereka kehilangan rasa aman, sementara kita masih bisa beribadah dengan tenang. Bukankah ini karunia besar? Betapa sering kita menganggap remeh nikmat keamanan ini, padahal tanpa keamanan, harta tidak berarti, kesehatan tidak terasa nikmat, bahkan ibadah pun menjadi sulit. Maka, hendaknya kita selalu bersyukur atas penjagaan Allah yang melindungi kita dari bahaya yang tak terlihat maupun yang tampak.

Kedua, Allah memberi keamanan batin. Banyak orang kaya raya, namun hatinya penuh kecemasan. Sebaliknya, ada orang sederhana yang hidupnya tenang karena Allah menurunkan sakinah di dalam hatinya. Inilah keamanan yang tak bisa dibeli, hanya Allah yang mampu memberikannya. Hati yang tenteram adalah karunia terbesar, sebab tanpa ketenangan, dunia yang luas terasa sempit. Hati yang dipenuhi iman akan kuat menghadapi cobaan, tetap sabar ketika kehilangan, dan tetap bersyukur ketika mendapat nikmat. Inilah keamanan batin yang sejati, sebuah anugerah yang sering diabaikan manusia.

Ketiga, Allah memberi keamanan di akhirat. Bagi orang beriman, Allah menjanjikan surga, tempat yang penuh keselamatan. Tidak ada rasa takut, tidak ada kesedihan, hanya kedamaian abadi. Itulah balasan tertinggi dari Allah Al-Mu’min bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Keselamatan di akhirat jauh lebih besar daripada keselamatan di dunia, karena kehidupan dunia hanyalah sementara. Di akhirat kelak, setiap jiwa akan merasakan keamanan yang sempurna, tanpa rasa sakit, tanpa kesusahan, hanya kebahagiaan yang abadi di sisi Allah. Inilah tujuan tertinggi seorang mukmin, dan inilah janji Allah yang pasti benar.

Allah lah yang memberi rasa aman pada nabi ibrahim di tengah kobaran api, dengan firmanya: “Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69). Api yang semestinya membakar, justru menjadi penyejuk berkat perlindungan Allah Al-Mu’min.

Allah lah yang membelah lautan untuk nabi musa yang tengah jadi incaran Fir’aun dan tentaranya hingga terhimpit laut di lepas, hingga Fir’aun yang penuh kesombongan justru binasa di tempat yang sama.

Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pun sarat dengan contoh penjagaan Allah. Saat beliau bersembunyi di gua Tsur bersama Abu Bakar, para musyrikin mengepung hingga di depan pintu. Namun Allah menurunkan rasa aman, menutupi pandangan mereka, hingga beliau selamat. Allah berfirman: “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40).

Semua kisah ini adalah cermin bahwa rasa aman sejati hanya dari Allah, bukan dari kekuatan fisik atau perlindungan manusia. Jika Allah menjaga, maka tidak ada satu pun makhluk yang bisa mencelakakan.

Renungan

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Apakah selama ini kita sudah benar-benar menjadikan Allah sebagai sumber rasa aman? Ataukah kita lebih bergantung pada kekayaan, jabatan, atau teknologi untuk merasa tenang? Bukankah semua itu rapuh dan bisa hilang dalam sekejap?

Tidakkah kita sadar, bahwa hati ini sering lebih percaya pada angka tabungan di bank daripada pada janji Allah? Tidakkah kita malu, ketika kita lebih merasa aman karena rumah yang kokoh, tetapi lalai dari doa yang tulus? Renungkanlah, kepada siapa sebenarnya kita bersandar.


Penutup

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Khutbah ini ingin menegaskan bahwa hanya Allah Al-Mu’min yang bisa mendatangkan rasa aman sejati di dalam hati. Harta bisa musnah, kekuasaan bisa runtuh, bahkan orang terdekat bisa pergi, namun Allah tetap setia menjaga hamba-Nya.

Semoga kita menjadi hamba yang selalu menyandarkan rasa aman hanya kepada Allah, sehingga hidup kita dipenuhi dengan ketenangan, dan akhir kita ditutup dengan husnul khatimah.

  Download : File Pdf Khutbah

Baca juga ini

Jumat, 05 September 2025

 


Rabi’ bin Khutsaim dikenal sebagai seorang tabi’in yang sangat zuhud dan selalu menjaga lisannya. Beliau jarang bicara kecuali yang bermanfaat. Abdullah bin Mas’ud sampai pernah berkata:

“Seandainya Rasulullah ﷺ melihat Rabi’, beliau pasti mencintainya.”

Suatu ketika, ada orang yang berkata kepada Rabi’:
"Wahai Abu Yazid (kunyahnya), mengapa engkau selalu menundukkan pandanganmu?"
Rabi’ menjawab:
"Demi Allah, aku tidak tahu apa yang Allah akan lakukan terhadapku nanti."

Kisah lain yang masyhur, setiap malam Rabi’ bin Khutsaim shalat tahajjud dengan penuh tangisan. Sampai-sampai ibunya pernah berkata:
"Wahai anakku, tidakkah engkau tidur sejenak?"
Beliau menjawab dengan lembut:
"Ibu, neraka itu tidak memberi kesempatan orang untuk tidur nyenyak."


✨ Dari kisahnya, kita belajar tentang:

  1. Menjaga lisan – bicara seperlunya, agar terhindar dari dosa.

  2. Zuhud dan takut kepada Allah – selalu merasa belum cukup dalam ibadah.

  3. Kesungguhan ibadah malam – menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.

Rabi’ bin Khutsaim adalah teladan nyata tentang bagaimana seorang hamba bisa hidup sederhana, penuh rasa takut, tapi juga penuh cinta kepada Allah.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Download Full


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Pernahkah kita merenung, berapa banyak dosa yang keluar dari lisan kita? Kadang kita merasa aman karena tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh, tetapi tanpa sadar lisan kita berghibah, berdusta, mencaci, atau menyakiti hati orang lain. Inilah yang diingatkan oleh para ulama sebagai dosa yang paling sering menjerumuskan manusia.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa lisan adalah nikmat sekaligus ujian besar. Banyak orang masuk surga karena lisannya yang selalu berzikir, tetapi tidak sedikit pula yang masuk neraka karena lisannya yang tak terjaga. Beliau menyebut ghibah, namimah (adu domba), dusta, dan ucapan sia-sia sebagai penyakit berbahaya dari lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Rasulullah ﷺ bersabda:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia dilemparkan ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka, kecuali karena hasil dari lisan mereka.” (HR. Tirmidzi)

Para ulama menjelaskan bahwa lisan adalah cermin hati. Jika hati baik, lisannya akan dipenuhi kebaikan. Namun jika hati kotor, lisan pun akan penuh keburukan. Karena itu menjaga lisan sama artinya dengan menjaga hati.

Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang sibuk dengan ibadah sunnah, tetapi mudah mencela dan menyakiti tetangganya. Ada pula yang gemar menolong, tetapi suka menyebar gosip sehingga merusak hubungan orang lain. Semua ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa lisan.

Tips Menjaga Lisan

  1. Perbanyak dzikir. Imam Al-Ghazali menjelaskan, lisan yang terbiasa dengan dzikir akan terjaga dari ucapan sia-sia.

  2. Diam bila tidak perlu bicara. Imam Syafi’i berkata, “Jika engkau ingin selamat, perbanyaklah diam, kecuali untuk kebaikan.”

  3. Pilih kata yang lembut. Ibnul Qayyim menegaskan, ucapan yang lembut bisa melembutkan hati dan menumbuhkan cinta.

  4. Jauhi majelis ghibah. Imam Nawawi menasihati, menjauhi lingkungan yang buruk adalah cara terbaik menjaga lisan.

  5. Ingat balasan akhirat. Ulama salaf selalu mengingatkan bahwa setiap kata akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.


Penutup

Jamaah yang dirahmati Allah, lisan adalah amanah besar. Mari kita isi lisan dengan dzikir, doa, dan ucapan yang baik, serta jauhi ghibah, fitnah, dan kata-kata kotor. Karena keselamatan seorang hamba banyak ditentukan oleh lisannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Download Full


Khutbah Pertama

الحمد لله الذي هو السلام، ومنه السلام، وإليه يعود السلام، نحمده حمداً كثيراً طيباً مباركاً فيه، ونشكره على عظيم نعمه وجزيل فضله، ونعوذ به من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji bagi Allah, sumber segala keselamatan, yang darinya kita mendapat perlindungan, dan kepada-Nya kita kembali dengan penuh harapan. Dialah As-Salām, yang memberi rasa aman di tengah kegelisahan, yang menurunkan ketenangan di hati para hamba-Nya, dan yang meliputi seluruh makhluk dengan rahmat-Nya yang luas.

Shalawat serta salam mari kita curahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, yang hatinya dipenuhi cahaya iman, lisannya tak pernah berhenti dari kebenaran, dan akhlaknya menjadi teladan bagi seluruh alam. Beliaulah yang menunjukkan kepada kita jalan keselamatan sejati, jalan menuju ridha Allah.

Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk senantiasa bertakwa kepada Allah. Takwa bukan pilihan tambahan, melainkan kebutuhan utama seorang hamba. Takwa adalah perisai yang menjaga kita dari murka Allah, cahaya yang menuntun langkah di dunia, dan bekal yang akan menyelamatkan kita di akhirat. Jangan sampai hidup kita hanya sibuk mengejar dunia, sementara kita melupakan bekal takwa. Ingatlah, siapa yang menjaga takwa, Allah akan menjaga dirinya; siapa yang mengabaikannya, maka ia sedang menjerumuskan diri dalam kebinasaan.


Para filsuf Barat banyak berbicara tentang keselamatan. Plato mendefinisikan keselamatan sebagai kebebasan jiwa dari belenggu ketidaktahuan, dengan pengetahuan sejati sebagai jalan menuju kedamaian. Menurutnya, keselamatan bukan sekadar hidup tanpa bahaya, tetapi keadaan jiwa yang tenang karena dekat dengan kebenaran.

Aristoteles menambahkan, keselamatan sejati adalah ketika manusia mencapai tujuan hakikinya, yaitu kebajikan yang sempurna. Jiwa yang hidup dalam kebajikan akan merasakan keselamatan meskipun tubuhnya berada dalam kesulitan. Keselamatan adalah harmoni antara jiwa, akal, dan tindakan yang lurus.

Sementara itu, filsuf modern seperti Immanuel Kant mengartikan keselamatan sebagai kebebasan moral, di mana manusia menolak tunduk pada hawa nafsu dan menjadikan akal yang bersih sebagai penuntun. Keselamatan, dalam pandangan ini, lahir dari kemampuan menolak keburukan dan berdiri di atas prinsip kebaikan yang universal.


Namun, para ulama Islam menegaskan bahwa keselamatan sejati hanya berasal dari Allah As-Salām. Imam Al-Ghazali dalam Al-Maqshad al-Asna menjelaskan bahwa As-Salām adalah Dzat yang selamat dari segala kekurangan dan cacat, serta Dia-lah yang memberi keselamatan kepada makhluk-Nya. Keselamatan yang Allah berikan bukan hanya dalam bentuk lahiriah, tetapi juga batiniah: ketenangan hati, kedamaian jiwa, dan perlindungan dari kesesatan.


Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”

(QS. Al-An’am: 127)

“Bagi mereka (orang-orang beriman) disediakan Darus-Salām (surga) di sisi Tuhan mereka; dan Dialah pelindung mereka karena amal-amal yang telah mereka kerjakan.”


Para mufassir menjelaskan bahwa Darus-Salām adalah rumah keselamatan, yaitu surga. Ibn Katsir menafsirkan bahwa Allah memberi nama surga dengan Darus-Salām karena di dalamnya tidak ada bahaya, tidak ada keburukan, tidak ada kesedihan. Semua yang masuk ke dalamnya selamat dari segala hal yang menyakitkan.

Dengan kata lain, keselamatan sejati bukan hanya terbebas dari marabahaya dunia, tetapi terbebas dari segala penderitaan di akhirat. Inilah bentuk tertinggi dari kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.


Keselamatan apa yang Allah berikan ?

Pertama, Allah memberi keselamatan di dunia. Setiap kali kita terhindar dari marabahaya, setiap kali kita selamat dari penyakit, bencana, dan keburukan, itu semua bukanlah kebetulan, melainkan bukti nyata penjagaan Allah As-Salām. Lihatlah bagaimana kita masih bisa bernafas dengan bebas, padahal banyak orang kesulitan. Itu adalah karunia keselamatan dari Allah.

Kedua, Allah memberi keselamatan di hati. Banyak orang tampak kaya raya, namun hatinya gelisah; tampak berkuasa, namun jiwanya takut. Keselamatan sejati adalah ketika hati kita tenang meski dunia bergoncang. Dan ketenangan hati ini hanya Allah yang mampu memberikannya.

Ketiga, Allah memberi keselamatan di akhirat. Bagi hamba yang beriman dan bertakwa, Allah janjikan Darus-Salām, tempat yang penuh ketenteraman. Tidak ada rasa takut, tidak ada duka cita, hanya kebahagiaan abadi bersama Allah.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa yang bangun di pagi hari dalam keadaan merasa aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia seluruhnya telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa keselamatan di dunia, ketenangan hati, dan kecukupan hidup adalah karunia besar dari Allah As-Salām yang wajib kita syukuri.


Jama’ah yang dirahmati Allah,

Apakah selama ini kita benar-benar mencari keselamatan dari Allah, ataukah kita masih berharap pada selain-Nya? Berapa banyak dari kita yang merasa aman karena harta, jabatan, atau kekuasaan? Bukankah semua itu rapuh dan bisa hilang dalam sekejap?

Tidakkah hati kita malu, ketika kita lebih tenang karena tabungan di bank daripada karena doa di sajadah? Tidakkah kita sadar, bahwa keselamatan sejati tidak bisa dibeli, tetapi hanya bisa dianugerahkan oleh Allah As-Salām? Renungkanlah, kepada siapa sebenarnya kita bersandar.


Penutup

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Khutbah ini ingin mengingatkan kita bahwa tidak ada sandaran lain selain Allah, khususnya dalam persoalan keselamatan, kesejahteraan, dan ketenangan. Harta bisa hilang, kekuasaan bisa runtuh, namun Allah As-Salām tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Dialah satu-satunya sumber keselamatan sejati.

Semoga kita menjadi hamba yang selalu bersandar hanya kepada-Nya, sehingga hidup kita dipenuhi dengan kedamaian, dan akhir kita ditutup dengan husnul khatimah.

 Download : File Pdf Khutbah

Baca juga ini

  

Selasa, 02 September 2025


Abu Yazid al-Busthami dikenal sebagai seorang sufi besar yang selalu haus mendekatkan diri kepada Allah. Suatu malam, ia berdoa dengan penuh harap: “Ya Allah, bagaimana aku bisa sampai kepada-Mu?”

Dalam hatinya, muncul sebuah jawaban yang begitu dalam: “Tinggalkan dirimu, lalu datanglah kepada-Ku.”

Jawaban itu bikin Abu Yazid sadar, bahwa penghalang terbesar antara manusia dan Allah bukan jarak, bukan dunia luar, tapi dirinya sendiri—ego, hawa nafsu, dan rasa bangga dengan amal yang sebenarnya kecil di hadapan Allah.

Sejak saat itu, Abu Yazid banyak mengajarkan bahwa jalan menuju Allah adalah dengan merendahkan hati, meninggalkan kesombongan, dan benar-benar pasrah hanya kepada-Nya.

Pesannya masih relevan banget buat kita hari ini: kalau mau deket sama Allah, jangan sibuk ngerasa paling benar atau paling banyak ibadah. Belajarlah lepasin ego, dan isi hati dengan cinta serta ketulusan kepada Allah. ✨

Download : Terjemah Hilyatul Auliya


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, serta orang-orang yang meneladani beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Pernahkah kita merenung, mengapa Allah memuliakan para ulama dan menempatkan mereka sebagai pewaris para nabi? Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi hati, membimbing amal, dan menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Tanpa ilmu, hidup kita bagaikan berjalan dalam kegelapan tanpa arah.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ilmu adalah asas dari amal. Tanpa ilmu, amal bisa tersesat dan kehilangan tujuan. Beliau menegaskan, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan kita kepada Allah, bukan sekadar pengetahuan dunia yang menjauhkan dari akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Para ulama menafsirkan hadits ini bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang membimbing kepada ibadah yang benar, akhlak yang mulia, dan keyakinan yang lurus. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”

Contoh nyata dalam kehidupan, banyak orang beribadah namun tidak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, sehingga ibadahnya kurang sempurna. Ada pula orang yang bersemangat dalam amal, tetapi karena tidak dilandasi ilmu, amal tersebut tidak diterima. Inilah bahaya kebodohan yang sering menjerumuskan manusia.

Tips Menjadi Pencinta Ilmu

  1. Niat ikhlas karena Allah. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa niat adalah ruh dari menuntut ilmu. Tanpa niat yang lurus, ilmu bisa berubah menjadi alat kesombongan.

  2. Mengamalkan ilmu yang dipelajari. Imam Nawawi menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang diamalkan. Ilmu tanpa amal akan menjadi hujjah yang memberatkan di akhirat.

  3. Berguru kepada ulama yang saleh. Menurut para ulama, sanad keilmuan sangat penting agar ilmu yang dipelajari tidak menyimpang dari jalan kebenaran.

  4. Menyebarkan ilmu dengan hikmah. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Dengan membagikan ilmu, kita mendapat pahala jariyah yang tidak terputus.

  5. Membiasakan membaca dan menelaah kitab-kitab. Imam Syafi’i menyarankan agar penuntut ilmu tidak lepas dari membaca, karena dengan membaca, hati dan pikiran akan terus hidup.


Penutup

Jamaah yang dirahmati Allah, ilmu adalah warisan para nabi, dan kebodohan adalah kegelapan yang menyesatkan. Mari kita jadikan menuntut ilmu sebagai bagian dari ibadah, kita ikhlaskan niat, amalkan ilmu, dan sebarkan kepada orang lain. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu diberi cahaya ilmu dan dijauhkan dari kebodohan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Khutbah Pertama

الحمد لله الذي تقدست أسماؤه، وتنزهت صفاته عن كل نقص وعيب، سبحان الملك القدوس، السلام المؤمن المهيمن العزيز الجبار المتكبر، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الأسماء الحسنى والصفات العلى، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji hanya bagi Allah, Dzat yang Maha Suci, yang kesucian-Nya meliputi langit dan bumi. Tiada satu pun makhluk yang mampu menyerupai-Nya, tiada sifat yang bisa menyamai-Nya. Dialah Al-Quddūs, sumber segala kesempurnaan, penghapus segala kekurangan, dan pemilik kemuliaan yang tiada cacat.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, manusia yang suci hatinya, jernih lisannya, dan bersih akhlaknya. Beliau adalah teladan bagi kita semua tentang bagaimana seorang hamba menjaga diri dari noda dosa, hingga kelak menjadi umat yang mendapatkan syafaatnya.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah,

Saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah. Takwa bukan sekadar kata-kata, melainkan kesadaran untuk selalu merasa diawasi, menjaga diri dari perbuatan dosa, dan tulus menyerahkan hidup hanya kepada Allah. Takwa adalah bekal yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.


Para filsuf Barat banyak berbicara tentang makna kesucian. Plato mendefinisikan “suci” sebagai sesuatu yang berada di atas dunia inderawi, sesuatu yang sempurna, tidak bercampur dengan kekurangan. Kesucian baginya adalah bentuk kebenaran murni yang tidak bisa disentuh oleh noda duniawi.

Aristoteles menambahkan bahwa kesucian adalah sifat dari sesuatu yang mencapai puncak tujuan dan keberadaannya. Jika sesuatu bekerja sesuai hakikatnya, maka ia mencapai kesempurnaan dan mendekati kesucian. Dalam pandangan ini, kesucian adalah keteraturan yang tanpa cacat.

Filsuf modern seperti Kant menyebut kesucian sebagai “imperatif moral tertinggi” – kebersihan jiwa yang menolak segala bentuk keburukan. Kesucian dalam perspektif ini adalah kebebasan dari hawa nafsu yang menyesatkan, agar manusia bisa berjalan dalam cahaya kebenaran.


Namun, para ulama Islam menegaskan bahwa kesucian yang sesungguhnya hanyalah milik Allah. Imam Al-Ghazali dalam Al-Maqshad al-Asna menjelaskan bahwa Al-Quddūs adalah Dzat yang suci dari segala aib, bersih dari segala kekurangan, dan bebas dari sifat-sifat makhluk. Kesucian Allah adalah mutlak, tidak ada ruang bagi kekurangan, dan tidak terikat oleh ruang maupun waktu.


Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
(QS. Al-Jumu’ah: 1)

“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”


Para mufassir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan seluruh makhluk, baik langit maupun bumi, senantiasa mengakui kesucian Allah. Imam Ibn Katsir berkata bahwa Allah disebut Al-Quddūs karena Dia suci dari segala kekurangan dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.

Dengan kata lain, kesucian Allah bukan sekadar bebas dari dosa, melainkan bebas dari segala kekurangan yang mungkin ada pada makhluk. Semua yang ada di alam raya ini tunduk kepada-Nya karena menyadari kesucian dan kemuliaan-Nya.


Pertama, Allah suci dari kesalahan dalam penciptaan. Tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang sia-sia. Setiap detail dalam tubuh manusia, setiap orbit planet, hingga setiap detik kehidupan, semuanya adalah hasil dari hikmah dan kesempurnaan-Nya.

Kedua, Allah suci dari kesalahan dalam menetapkan takdir. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, semuanya sudah diukur dengan bijaksana. Tidak ada takdir yang Allah tetapkan secara kebetulan atau tanpa tujuan.

Ketiga, Allah suci dari kesalahan dalam hukum dan syariat. Setiap perintah-Nya penuh dengan kebaikan, setiap larangan-Nya penuh dengan perlindungan. Jika manusia sering melihat hukum Allah berat, itu bukan karena ada cacat, melainkan karena keterbatasan kita dalam memahami hikmah-Nya.


Jama’ah yang berbahagia,

Seringkali manusia merasa kecewa dengan takdir Allah. Ada yang merasa hidupnya terlalu sempit, rezekinya sedikit, atau doanya belum terkabul. Padahal, kekecewaan semacam ini lahir dari keterbatasan pandangan kita, bukan karena ada kekurangan dalam keputusan Allah. Allah Al-Quddūs, Maha Suci dari kesalahan, tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa hikmah yang mendalam.

Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa hidup orang lain terlihat lebih mudah? Mengapa ada orang yang sehat sementara kita diuji sakit? Jika kita tidak hati-hati, perasaan ini bisa membuat kita protes kepada Allah. Padahal, perasaan kecewa itu hanya menutupi pandangan kita dari kebaikan yang tersembunyi di balik takdir. Setiap ujian yang kita terima sesungguhnya adalah jalan Allah untuk mengangkat derajat kita.

Karena itu, mari kita renungkan kembali: apakah pantas seorang hamba kecewa kepada Tuhannya? Bukankah semua yang kita miliki adalah titipan? Bukankah kita tidak pernah diminta menciptakan takdir, hanya diminta menerimanya dengan sabar dan syukur? Jika kita benar-benar yakin bahwa Allah adalah Al-Quddūs, maka kita akan meyakini bahwa tidak ada sedikit pun kesalahan dalam setiap garis takdir yang menimpa kita.

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Khutbah ini ingin mengajak kita semua untuk menerima takdir Allah dengan hati yang tenang. Jika kita yakin bahwa Allah adalah Al-Quddūs, maka tidak ada satu pun keputusan-Nya yang salah. Semua takdir adalah suci dari kekeliruan. Tugas kita hanyalah bersabar, bersyukur, dan terus percaya bahwa di balik semua itu ada kasih sayang Allah.

Semoga kita menjadi hamba yang ridha dengan setiap ketentuan-Nya, sehingga hidup kita dipenuhi dengan ketenangan, dan akhir kita ditutup dengan husnul khatimah.

قُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُI

  Download : File Pdf Khutbah

Baca juga ini

Senin, 01 September 2025

 

Sufyān ats-Tsaurī (97–161 H) adalah seorang ulama besar yang dijuluki Amīrul Mu’minīn fil Hadīts (pemimpin orang beriman dalam bidang hadits). Beliau bukan hanya ahli dalam meriwayatkan hadits, tapi juga seorang imam dalam ilmu fiqih, zuhud, dan wara’.

Sejak muda, Sufyān sudah dikenal tekun menuntut ilmu. Beliau belajar dari banyak guru besar, di antaranya Imam Ja’far ash-Shadiq dan Mansur bin al-Mu’tamir. Kecerdasannya membuat beliau cepat dikenal, namun sikap rendah hati selalu melekat pada dirinya.

🌱 Zuhud dan Wara’

Sufyān ats-Tsaurī dikenal sangat zuhud terhadap dunia. Pernah suatu ketika, seorang penguasa menawarkan hadiah harta kepadanya, tetapi ia menolak dengan lembut seraya berkata:

“Jika engkau ingin aku menerima hadiahmu, maka kurangi saja beban rakyatmu. Itulah hadiah yang paling berharga.”

Beliau juga sering menangis ketika mengingat akhirat. Ada muridnya berkata:

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih takut kepada Allah selain Sufyān ats-Tsaurī. Setiap kali ia membaca ayat tentang neraka, ia menangis tersedu-sedu.”

🌟 Nasihat Kehidupan

Banyak nasihat Sufyān ats-Tsaurī yang masih relevan hingga hari ini. Salah satunya adalah tentang niat:

“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk diperbaiki kecuali niat. Sebab niat selalu berubah-ubah.”

Nasihat ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga keikhlasan, terutama ketika beramal atau beribadah.

📖 Akhir Hidup

Menjelang wafatnya, beliau berkata dengan penuh kerendahan hati:

“Aku tidak tahu apakah Allah akan mengampuniku atau mengazabku.”

Perkataan ini menunjukkan betapa besar rasa takut dan tawadhu’ beliau kepada Allah, meskipun amalnya sangat banyak.


✨ Kisah Sufyān ats-Tsaurī memberi kita pelajaran bahwa ilmu yang sejati harus disertai dengan keikhlasan, ketawadhu’an, dan sikap wara’. Beliau adalah teladan ulama yang tidak tergoda dunia, tetapi fokus pada akhirat.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya


Khutbah Pertama

 

الحمد لله الذي له الملك وله الحمد، بيده الخير وهو على كل شيء قدير. نحمده سبحانه ونشكره، ونعوذ به من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الفضل وله الثناء الحسن. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji hanya bagi Allah, Raja segala raja, Pemilik langit dan bumi. Dialah yang menutup malam dengan selimut tenang, dan membukakan pagi dengan cahaya penuh harapan. Setiap hela nafas kita adalah anugerah dari-Nya, setiap detak jantung adalah titipan kasih-Nya. Tiada satu pun nikmat yang kita kecap melainkan bersumber dari kelembutan-Nya yang tak pernah bertepi.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, penutup para nabi, sang pembawa cahaya iman yang menerangi hati yang gelap. Beliaulah yang mengajarkan kita makna syukur, sabar, dan pengabdian. Semoga kita termasuk umat yang setia mengikuti jejak langkahnya hingga akhir hayat, agar kelak berhak mendapatkan syafa’atnya di hari perhitungan.

Selanjutnya...

Marilah kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa adalah bekal terbaik dalam hidup ini, yang akan menerangi jalan kita di dunia dan menyelamatkan kita di akhirat.

Jama’ah Jumat yang dimuliakan Allah,

Tema khutbah kita kali ini adalah salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Malik, Sang Raja, Sang Pemilik, dan Penguasa segala sesuatu.

Para filsuf muslim seperti Al-Farabi menjelaskan bahwa Al-Malik adalah sumber dari segala keberadaan. Kepemilikan-Nya bukan hanya pada benda dan makhluk, tetapi juga pada aturan dan tatanan alam semesta. Tidak ada satu pun gerakan bintang, hembusan angin, bahkan denyut jantung manusia yang berada di luar kehendak-Nya. Al-Malik adalah Raja yang kekuasaan-Nya tidak bergantung pada siapa pun, sementara semua raja di dunia sejatinya hanyalah bayangan kecil dari kekuasaan-Nya. Allah berfirman:

 

 

"فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ"

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya; tidak ada tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) Arasy yang mulia.” (QS. Al-Mu’minun: 116)

Imam Al-Ghazali dalam Al-Maqshad al-Asna menjelaskan bahwa Al-Malik adalah Dia yang tidak membutuhkan apa pun, sementara semua makhluk butuh kepada-Nya. Kekuasaan-Nya tidak terbatas, tidak bergantung pada selain-Nya, dan aturan-Nya berlaku di seluruh jagat raya. Inilah yang membedakan Allah dengan raja-raja dunia, karena raja dunia hanya berkuasa atas apa yang fana, sedangkan Allah berkuasa atas dunia dan akhirat.

Penjelasan para ulama ini memberi kita pemahaman bahwa ketika kita menyebut Allah sebagai Al-Malik, maka kita sedang mengakui kebesaran dan kedaulatan-Nya yang absolut. Tidak ada hukum yang lebih tinggi dari hukum-Nya, tidak ada kerajaan yang lebih kekal daripada kerajaan-Nya, dan tidak ada kekuasaan yang dapat menyaingi kekuasaan-Nya. Dengan menyadari hal ini, seharusnya tumbuh dalam diri kita rasa rendah hati dan tunduk, sebab manusia hanyalah makhluk yang lemah sementara Allah adalah Raja yang sejati dan abadi.

Nama Al-Malik menunjukkan bahwa Allah adalah Raja yang sesungguhnya. Kepemilikan-Nya mutlak, kekuasaan-Nya tak terbatas, dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menandingi kekuasaan-Nya. Dunia dan seisinya hanyalah titipan yang akan kembali kepada-Nya.

Menariknya, para filsuf Barat seperti Plato juga berbicara tentang konsep raja. Menurutnya, seorang raja sejati bukan hanya penguasa yang kuat, tetapi juga seorang filsuf yang bijak, yang menegakkan keadilan dan kebenaran. Namun, bila kita bandingkan dengan Allah Al-Malik, jelas terlihat perbedaannya. Jika raja dalam pandangan filsafat Barat masih terbatas pada manusia yang penuh kelemahan, maka Allah adalah Raja yang sempurna, yang pengetahuan dan keadilannya mutlak, serta kepemilikannya tidak pernah berakhir.

Sebagai contoh sederhana dari kekuasaan Allah yang membuat kita takjub, cobalah renungkan tubuh kita sendiri. Jutaan sel bekerja tanpa kita perintah, jantung berdegup tanpa kita sadari, dan paru-paru terus menghirup udara tanpa pernah lelah. Semua itu berjalan karena kehendak Allah Al-Malik. Lihat pula langit yang terbentang luas tanpa tiang, bintang-bintang yang beredar pada jalurnya tanpa bertabrakan, dan bumi yang terus berputar dengan teratur. Semua keteraturan ini adalah tanda nyata bahwa Allah benar-benar Raja yang berkuasa mutlak atas segala sesuatu.

Maka timbul sebuah pertanyaan besar untuk kita semua: sudahkah kita benar-benar merajakan Allah dalam hidup kita? Sudahkah kita menempatkan-Nya sebagai Raja dalam hati, dalam rumah tangga, dalam pekerjaan, dan dalam seluruh urusan kita? Ataukah justru kita sering menjadikan nafsu, harta, atau kedudukan sebagai raja yang kita ikuti? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan, karena siapa yang menjadikan Allah sebagai Rajanya, ia akan selamat; namun siapa yang lebih tunduk kepada selain-Nya, maka ia sedang menipu dirinya sendiri.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian yang indah. Jika diberi, ia ridha, namun jika tidak diberi, ia marah.” (HR. Bukhari). Hadis ini mengingatkan kita bahwa siapa saja yang menjadikan harta atau selain Allah sebagai rajanya, ia sejatinya sedang memperbudak dirinya sendiri dan jauh dari rahmat Allah.

Jama’ah Jumat yang berbahagia,

Sebelum kita merenungi lebih jauh, marilah kita membuka hati dengan kesadaran bahwa kehidupan ini penuh dengan perubahan. Apa yang kita genggam hari ini bisa hilang esok hari, dan apa yang kita banggakan bisa runtuh dalam sekejap. Semua yang kita lihat hanyalah bayangan yang sebentar, bukan kepemilikan sejati. Dengan pemahaman ini, kita akan lebih siap menyambut renungan mendalam tentang siapa sebenarnya Raja dalam hidup kita.

Jika kita renungkan, semua yang kita miliki hari ini hanyalah sementara. Harta, jabatan, kedudukan, bahkan usia kita, semuanya berada dalam genggaman Allah. Semua yang tampak besar di mata manusia sesungguhnya kecil di hadapan Allah. Berapa banyak orang kaya yang tiba-tiba jatuh miskin, berapa banyak orang berkuasa yang hilang kedudukannya, dan berapa banyak yang sehat lalu tiba-tiba sakit. Semuanya adalah bukti bahwa manusia tidak pernah benar-benar memiliki apa-apa. Maka janganlah kita terpedaya oleh dunia, karena kita bukanlah raja atas hidup ini, melainkan hanya hamba yang sedang diuji oleh Sang Raja yang sebenarnya. Sadarilah bahwa ujian itu datang silih berganti, dan setiap dari kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diamanahkan. Karena itu, orang yang bijak adalah orang yang menyiapkan diri menghadapi hari di mana semua mahkota dunia akan ditanggalkan dan hanya ketaatanlah yang menjadi pakaian kemuliaan di hadapan Allah.

Allah sebagai Al-Malik juga menunjukkan bahwa seluruh aturan-Nya adalah hukum yang paling adil. Ketika manusia sering lalai dan zalim, Allah hadir dengan hukum-Nya yang sempurna. Karena itu, barang siapa yang tunduk kepada Allah, ia akan merasakan keadilan dan ketenangan hidup.

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Marilah kita belajar meneladani sifat Al-Malik ini dengan menyadari bahwa kepemilikan kita hanyalah titipan. Maka gunakanlah harta, waktu, dan hidup kita untuk kebaikan, karena semua itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Jadilah pemimpin bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat dengan adil, sebab seorang hamba yang meneladani sifat Al-Malik akan senantiasa menjaga amanah dengan penuh tanggung jawab.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya, selalu mengingat bahwa Dia-lah Raja yang sesungguhnya Amin.... Amin Ya Rabbal Alaminn.

 

قُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُI

  Download : File Pdf Khutbah