Khutbah Pertama
الحمد لله الذي تقدست أسماؤه،
وتنزهت صفاته عن كل نقص وعيب، سبحان الملك القدوس، السلام المؤمن المهيمن العزيز الجبار
المتكبر، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الأسماء الحسنى والصفات العلى،
وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.
Amma ba’du,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji hanya bagi Allah, Dzat yang Maha Suci, yang kesucian-Nya
meliputi langit dan bumi. Tiada satu pun makhluk yang mampu menyerupai-Nya,
tiada sifat yang bisa menyamai-Nya. Dialah Al-Quddūs, sumber segala
kesempurnaan, penghapus segala kekurangan, dan pemilik kemuliaan yang tiada
cacat.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, manusia yang suci hatinya, jernih lisannya, dan bersih akhlaknya. Beliau
adalah teladan bagi kita semua tentang bagaimana seorang hamba menjaga diri
dari noda dosa, hingga kelak menjadi umat yang mendapatkan syafaatnya.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah,
Saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk
senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah. Takwa bukan sekadar kata-kata,
melainkan kesadaran untuk selalu merasa diawasi, menjaga diri dari perbuatan
dosa, dan tulus menyerahkan hidup hanya kepada Allah. Takwa adalah bekal yang
akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.
Para filsuf Barat banyak berbicara tentang makna kesucian. Plato
mendefinisikan “suci” sebagai sesuatu yang berada di atas dunia inderawi,
sesuatu yang sempurna, tidak bercampur dengan kekurangan. Kesucian baginya
adalah bentuk kebenaran murni yang tidak bisa disentuh oleh noda duniawi.
Aristoteles menambahkan bahwa kesucian adalah sifat dari sesuatu yang
mencapai puncak tujuan dan keberadaannya. Jika sesuatu bekerja sesuai
hakikatnya, maka ia mencapai kesempurnaan dan mendekati kesucian. Dalam
pandangan ini, kesucian adalah keteraturan yang tanpa cacat.
Filsuf modern seperti Kant menyebut kesucian sebagai “imperatif moral
tertinggi” – kebersihan jiwa yang menolak segala bentuk keburukan. Kesucian
dalam perspektif ini adalah kebebasan dari hawa nafsu yang menyesatkan, agar
manusia bisa berjalan dalam cahaya kebenaran.
Namun, para ulama Islam menegaskan bahwa kesucian yang sesungguhnya
hanyalah milik Allah. Imam Al-Ghazali dalam Al-Maqshad al-Asna
menjelaskan bahwa Al-Quddūs adalah Dzat yang suci dari segala aib,
bersih dari segala kekurangan, dan bebas dari sifat-sifat makhluk. Kesucian
Allah adalah mutlak, tidak ada ruang bagi kekurangan, dan tidak terikat oleh
ruang maupun waktu.
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an:
“يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ”
(QS. Al-Jumu’ah: 1)
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.”
Para mufassir menjelaskan
bahwa ayat ini menunjukkan seluruh makhluk, baik langit maupun bumi, senantiasa
mengakui kesucian Allah. Imam
Ibn Katsir berkata bahwa Allah disebut Al-Quddūs karena Dia suci dari segala
kekurangan dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Dengan kata lain, kesucian Allah bukan sekadar bebas dari dosa, melainkan
bebas dari segala kekurangan yang mungkin ada pada makhluk. Semua yang ada di
alam raya ini tunduk kepada-Nya karena menyadari kesucian dan kemuliaan-Nya.
Pertama, Allah suci dari kesalahan dalam penciptaan. Tidak ada satu pun
ciptaan-Nya yang sia-sia. Setiap detail dalam tubuh manusia, setiap orbit
planet, hingga setiap detik kehidupan, semuanya adalah hasil dari hikmah dan
kesempurnaan-Nya.
Kedua, Allah suci dari kesalahan dalam menetapkan takdir. Apa pun yang
terjadi dalam hidup kita, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan,
semuanya sudah diukur dengan bijaksana. Tidak ada takdir yang Allah tetapkan
secara kebetulan atau tanpa tujuan.
Ketiga, Allah suci dari kesalahan dalam hukum dan syariat. Setiap
perintah-Nya penuh dengan kebaikan, setiap larangan-Nya penuh dengan
perlindungan. Jika manusia sering melihat hukum Allah berat, itu bukan karena
ada cacat, melainkan karena keterbatasan kita dalam memahami hikmah-Nya.
Jama’ah yang berbahagia,
Seringkali manusia merasa kecewa dengan takdir Allah. Ada yang merasa
hidupnya terlalu sempit, rezekinya sedikit, atau doanya belum terkabul.
Padahal, kekecewaan semacam ini lahir dari keterbatasan pandangan kita, bukan
karena ada kekurangan dalam keputusan Allah. Allah Al-Quddūs, Maha Suci dari
kesalahan, tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa hikmah yang mendalam.
Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa hidup orang lain terlihat lebih
mudah? Mengapa ada orang yang sehat sementara kita diuji sakit? Jika kita tidak
hati-hati, perasaan ini bisa membuat kita protes kepada Allah. Padahal,
perasaan kecewa itu hanya menutupi pandangan kita dari kebaikan yang
tersembunyi di balik takdir. Setiap ujian yang kita terima sesungguhnya adalah
jalan Allah untuk mengangkat derajat kita.
Karena itu, mari kita renungkan kembali: apakah pantas seorang hamba kecewa
kepada Tuhannya? Bukankah semua yang kita miliki adalah titipan? Bukankah kita
tidak pernah diminta menciptakan takdir, hanya diminta menerimanya dengan sabar
dan syukur? Jika kita benar-benar yakin bahwa Allah adalah Al-Quddūs, maka kita
akan meyakini bahwa tidak ada sedikit pun kesalahan dalam setiap garis takdir
yang menimpa kita.
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Khutbah ini ingin mengajak kita semua untuk menerima takdir Allah dengan
hati yang tenang. Jika kita yakin bahwa Allah adalah Al-Quddūs, maka tidak ada
satu pun keputusan-Nya yang salah. Semua takdir adalah suci dari kekeliruan.
Tugas kita hanyalah bersabar, bersyukur, dan terus percaya bahwa di balik semua
itu ada kasih sayang Allah.
Semoga kita menjadi hamba yang ridha dengan setiap ketentuan-Nya, sehingga
hidup kita dipenuhi dengan ketenangan, dan akhir kita ditutup dengan husnul
khatimah.
قُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُI
Download : File Pdf Khutbah

0 comments:
Posting Komentar