Just another free Blogger theme

Random Posts

blog tes ombak

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

JamoSiko

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pengikut

Penayangan bulan lalu

Find Us On Facebook

Random Posts

Recent Posts

Video Of Day

Popular Posts

Rabu, 27 Agustus 2025

 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan kita nikmat iman, nikmat Islam, serta kesempatan untuk memperbaiki diri. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dimuliakan Allah,
Pernahkah kita duduk sejenak, menutup mata, lalu bertanya pada diri sendiri: Bagaimana hubungan saya dengan Allah hari ini? Sudahkah saya benar-benar jujur, ataukah masih penuh lalai dan kesalahan? Inilah yang disebut muhasabah—menghitung amal, menimbang hati, sebelum kelak Allah sendiri yang menimbang kita di yaumil hisab.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa orang beriman seyogianya menilai dirinya setiap hari. Ia ibarat seorang pedagang yang selalu menghitung untung-rugi. Jika ada kebaikan, ia bersyukur dan menambahnya. Jika ada keburukan, ia menyesal lalu bertaubat. Tanpa muhasabah, kita seperti berjalan dalam gelap—tak sadar di mana kaki berpijak, hingga tiba-tiba terperosok dalam jurang dosa.

Dari sisi kesehatan, muhasabah juga membawa manfaat besar. Orang yang membiasakan diri merenung dan menilai dirinya akan lebih tenang, terhindar dari stres berlebihan, serta memiliki kualitas tidur yang lebih baik. Dengan muhasabah, seseorang belajar menerima kelemahan sekaligus memperbaikinya, sehingga jiwanya tidak mudah gelisah. Penelitian modern bahkan menyebutkan bahwa introspeksi dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan fokus, dan menjaga kesehatan mental. Artinya, muhasabah bukan hanya ibadah, tetapi juga terapi jiwa yang menyehatkan tubuh.

Allah sendiri mengisyaratkan pentingnya muhasabah dalam firman-Nya:

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (nafsu lawwāmah).”
(QS. Al-Qiyamah: 2)

Ulama tafsir menjelaskan, jiwa yang selalu mencela adalah jiwa seorang mukmin yang tidak pernah diam ketika dirinya lalai. Ia menegur dirinya sendiri, menyesali dosa, lalu kembali mendekat kepada Allah. Inilah ruh dari muhasabah—mengenali kesalahan agar kita tidak dibiarkan hanyut dalam kelalaian.

Muhasabah bukan berarti larut dalam rasa bersalah, tapi menyadari kelemahan untuk kemudian kembali kepada Allah. Hati yang terbiasa bermuhasabah akan menjadi lembut, karena selalu terikat dengan rasa takut (khauf) dan harap (raja’). Takut akan azab Allah, tapi juga berharap pada ampunan dan kasih sayang-Nya.

Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita jadikan muhasabah sebagai rutinitas harian. Caranya sederhana: sebelum tidur, tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang sudah saya lakukan hari ini? Apakah lebih banyak kebaikan atau keburukan? Jika Allah memanggil saya malam ini, dalam keadaan apa saya akan menghadap-Nya?” Pertanyaan ini akan menjaga hati kita dari kelalaian dan membangunkan semangat untuk terus memperbaiki diri.

Penutup:
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang rajin bermuhasabah, sehingga setiap langkah kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya, bukan malah menjauh. Mari kita jadikan hari-hari kita bukan sekadar rutinitas, tapi perjalanan menuju pertemuan yang indah dengan Allah Ta’ala.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Senin, 25 Agustus 2025

 


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.\

Jamaah yang dimuliakan Allah, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: mungkinkah hati yang seharusnya lembut, penuh kasih, dan mudah tersentuh malah berubah menjadi keras, kaku, bahkan mati rasa? Bisakah hati manusia kehilangan kelembutannya hingga tidak lagi tersentuh oleh nasihat, ayat-ayat Allah, atau bahkan peringatan kematian? Pertanyaan ini penting, karena kerasnya hati adalah tanda jauh dari rahmat Allah.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa hati manusia bisa menjadi keras, dan salah satu penyebab utamanya adalah banyaknya dosa serta lalai dari mengingat Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ
قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ (رواه البيهقي)

“Sesungguhnya hati itu akan berkarat sebagaimana besi berkarat karena air.”
Para sahabat bertanya: “Apakah yang dapat menghilangkan karat itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Mengingat kematian dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi).\

Tafsiran Ulama tentang Hadis Ini
Imam Al-Ghazali menafsirkan hadis ini dengan menjelaskan bahwa hati yang berkarat adalah hati yang dipenuhi dosa dan kelalaian. Sebagaimana besi jika dibiarkan terkena air akan rusak, begitu pula hati jika dibiarkan lalai tanpa dzikir dan ibadah akan keras dan gelap. Ibnul Qayyim juga menambahkan bahwa dzikir adalah obat bagi hati, sedangkan lalai adalah racunnya. Oleh karena itu, semakin sering hati dihidupkan dengan dzikir dan bacaan Al-Qur’an, semakin bersihlah hati dari karat dosa, dan semakin mudah menerima hidayah Allah.

Dari sisi psikologi modern, hati yang keras bisa diibaratkan dengan kondisi emotional numbness (mati rasa emosional), di mana seseorang sulit merasakan empati, sulit menerima nasihat, dan terjebak pada perilaku negatif. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang rutin bermeditasi atau berzikir memiliki tingkat stres lebih rendah dan emosi yang lebih stabil.

Seperti Apa Hati yang Keras Itu?
Hati yang keras adalah hati yang sulit tersentuh oleh kebenaran. Misalnya, ketika mendengar ayat Al-Qur’an, ia merasa biasa saja tanpa ada getaran iman. Saat melihat penderitaan orang lain, ia tidak tergerak untuk menolong. Bahkan ketika dinasihati dengan penuh kasih sayang, ia membalas dengan kemarahan atau ejekan. Inilah tanda bahwa karat dosa telah menutupi hati, sehingga cahayanya meredup dan sulit menerima hidayah.

Contoh Kehidupan Sehari-hari

  • Ada orang yang sering marah ketika dinasihati, karena hatinya tertutup oleh kesombongan.

  • Ada yang sulit menangis ketika mendengar ayat Al-Qur’an, karena jarang berinteraksi dengannya.

  • Ada yang merasa bangga dengan dosa-dosanya, seakan-akan itu adalah prestasi, padahal itu menambah kerasnya hati.

  • Sebaliknya, orang yang rutin membaca Al-Qur’an biasanya lebih tenang, sabar, dan hatinya lembut menghadapi masalah.

Tips Agar Hati Tidak Menjadi Keras

  1. Perbanyak membaca dan tadabbur Al-Qur’an setiap hari.

    • Penjelasan singkat: Al‑Qur’an disebut cahaya bagi hati; tadabbur (merenungi makna) membuat ayat masuk ke lubuk hati sehingga mengikis kebiasaan lalai.

    • Dirujuk oleh: Imam al‑Ghazali menekankan hidup bersama Al‑Qur’an dalam Ihya Ulumuddin sebagai obat hati; ulama tafsir juga menganjurkan tadabbur sebagai cara menyucikan hati.

  2. Perbanyak dzikir, khususnya istighfar dan shalawat.

    • Penjelasan singkat: Dzikir mengingatkan kita kepada Allah sehingga kecintaan dan ketundukan tumbuh; istighfar membantu membersihkan dosa yang menutup lembutnya hati.

    • Dirujuk oleh: Ibnul Qayyim dan para salaf menyebut dzikir sebagai “obat hati” yang menyembuhkan kegelapan dan kaku pada jiwa.

  3. Sering‑sering mengingat kematian agar hati tidak lalai.

    • Penjelasan singkat: Kontemplasi kematian mengurangi kecintaan berlebihan pada dunia dan mendorong persiapan spiritual sehingga hati tetap waspada dan lembut.

    • Dirujuk oleh: Baik Imam al‑Ghazali maupun Ibnul Qayyim menulis panjang tentang pentingnya muhadaratul maut (mengingat mati) untuk membangunkan hati.

  4. Berkumpul dengan orang‑orang saleh yang bisa menasihati dengan kasih sayang.

    • Penjelasan singkat: Lingkungan memengaruhi hati; majelis orang soleh memberi teladan, nasihat lembut, dan dorongan untuk memperbaiki diri.

    • Dirujuk oleh: Ajaran Nabi ﷺ dan ulama klasik (termasuk Al‑Ghazali) menekankan pentingnya persahabatan yang saleh dan majelis ilmu.

  5. Menjauhi maksiat sekecil apa pun, karena setiap dosa menambah karat pada hati.

    • Penjelasan singkat: Dosa‑dosa, sekecil apa pun, menumpuk dan menutup nur hati; menjauh dari maksiat adalah langkah pertama membersihkan karat itu.

    • Dirujuk oleh: Banyak ulama, termasuk Ibnul Qayyim, menegaskan bahwa taubat dan menjauhi dosa adalah syarat utama penyembuhan hati.

  6. Perbanyak sedekah dan membantu sesama agar hati lebih peka.

    • Penjelasan singkat: Sedekah melatih empati dan mengikis sifat kikir/sombong — dua faktor yang membuat hati menjadi keras.

    • Dirujuk oleh: Para ulama fiqh dan ahli akhlak (termasuk Al‑Ghazali) menyebut sedekah sebagai pembersih harta dan pelembut hati.

  7. Rajin menghadiri majelis ilmu, karena ilmu menambah cahaya bagi hati.

    • Penjelasan singkat: Ilmu yang benar memberi pemahaman sehingga hati tercerahkan; majelis ilmu menanamkan amal yang benar dan mengingatkan dari kelalaian.

    • Dirujuk oleh: Imam al‑Ghazali dan tradisi ulama salaf menempatkan ilmu sebagai cahaya yang mendampingi hati menuju tawajjuh kepada Allah.

Penutup
Maka, mari kita jadikan dzikir, membaca Al-Qur’an, dan mengingat kematian sebagai amalan harian. InsyaAllah, hati kita akan lebih dekat dengan Allah, lembut, dan penuh cahaya iman. Semoga Allah menjauhkan kita dari hati yang keras, dan memberikan kita hati yang selalu tunduk, khusyuk, serta dipenuhi rahmat-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Khutbah Pertama

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي تَفَرَّدَ بِالْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا، نَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, yang dengan kelembutan kasih sayang-Nya kita masih diberi nafas kehidupan hingga saat ini. Dialah yang menciptakan langit yang luas tanpa tiang, menghamparkan bumi sebagai tempat berpijak, dan menundukkan segala sesuatu agar menjadi tanda kekuasaan-Nya bagi kita yang mau merenung. Kita memuji-Nya dengan segenap jiwa, kita mengagungkan-Nya dengan segenap hati, sebab tidak ada nikmat yang kita rasakan melainkan berasal dari limpahan rahmat-Nya.

Shalawat serta salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sosok penuh kasih yang menuntun manusia keluar dari gelapnya kebodohan menuju cahaya iman. Semoga kita termasuk umat yang senantiasa mengikuti jejaknya, hingga kelak di hari kiamat mendapatkan syafa‘at dan naungan rahmatnya.

selanjutnya......

Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, agar hidup kita dipenuhi dengan keberkahan. Takwa bukanlah sekadar ucapan di lisan, tetapi kesadaran penuh dalam hati bahwa Allah senantiasa melihat kita di mana pun kita berada. Takwa berarti menjaga hati agar tetap bersih dari kesombongan, menjaga lisan dari kata-kata yang menyakiti, serta menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa. Dengan takwa, seorang hamba menimbang setiap langkahnya: apakah perbuatan ini mendekatkan dirinya kepada Allah atau justru menjauhkannya. Bila kita berusaha menanamkan takwa dalam keseharian—dari perkara kecil seperti kejujuran, hingga perkara besar seperti menegakkan shalat dan menunaikan zakat—maka hidup kita akan lebih terarah, tenang, dan penuh keberkahan. Inilah bekal utama yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.

Jama’ah Jumat yang dimuliakan Allah,

Hari ini kita akan merenungkan salah satu dari nama Allah yang agung: Ar-Rahīm. Jika Ar-Rahmān adalah kasih sayang Allah yang meliputi seluruh makhluk-Nya di dunia, maka Ar-Rahīm adalah kasih sayang khusus yang Allah curahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat, baik di dunia maupun di akhirat.

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini menegaskan kasih sayang Allah yang sangat khusus bagi kaum mukminin. Allah memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, pertolongan, dan ampunan di dunia, serta kenikmatan abadi di akhirat. Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa sifat Rahīm menunjukkan kedekatan Allah dengan hamba-hamba yang taat, sebab Dia tidak hanya mencurahkan rahmat umum sebagaimana sifat Rahmān, melainkan juga rahmat khusus yang menjadi penenang hati bagi orang-orang beriman. Maka ayat ini mengingatkan kita bahwa semakin kuat iman dan amal kita, semakin dekat pula kita dengan limpahan rahmat Allah yang tiada terputus.

Jama’ah Jumat yang dimuliakan Allah,

Jika kita melihat ke dalam ilmu biologi, kita akan menemukan sebuah keajaiban yang menjadi cermin kasih sayang Allah, yaitu rahim seorang ibu. Kata rahim sendiri berasal dari akar kata yang sama dengan Ar-Rahīm, seakan menunjukkan betapa lembut dan penuh kasihnya perlindungan Allah terhadap makhluk-Nya. Di dalam rahim, janin tumbuh dengan penuh penjagaan: diberi nutrisi, oksigen, dan lingkungan yang aman, meski ia begitu lemah dan tak berdaya. Semua itu bukanlah kebetulan, melainkan tanda kasih sayang Allah yang nyata, yang bisa dirasakan bahkan sebelum manusia lahir ke dunia. Maka sebagaimana rahim seorang ibu melindungi dan menyayangi anaknya, demikianlah Allah dengan sifat-Nya Ar-Rahīm melindungi, menyayangi, dan membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman.

Kasih sayang Allah dalam sifat Ar-Rahīm ini bukanlah kasih sayang yang umum untuk semua, melainkan rahmat yang istimewa, yang dirasakan oleh orang-orang yang menjaga shalatnya, yang berusaha ikhlas dalam amalnya, dan yang selalu memohon ampunan kepada-Nya. Rahmat ini hadir dalam bentuk ketenangan hati ketika mereka berdzikir, keberkahan dalam rezeki yang halal meskipun sedikit, dan kekuatan untuk bangkit setiap kali jatuh dalam dosa. Bahkan dalam setiap ujian, hamba yang mendapat rahmat Ar-Rahīm akan merasakan kelembutan Allah, sebab di balik kesedihan dan cobaan, ada kasih sayang yang mendidik jiwa agar semakin kuat. Inilah rahmat yang tidak bisa dibeli dengan harta, tidak bisa digapai dengan jabatan, tetapi hanya dirasakan oleh hati-hati yang tunduk kepada Allah. Maka beruntunglah orang-orang yang menjaga shalatnya, yang tidak lelah memohon ampunan, karena di situlah mereka sedang mengetuk pintu kasih sayang Allah yang tiada terputus.

Ketahuilah bahwa balasan bagi umat Islam yang beriman dan beramal saleh di akhirat nanti adalah rahmat yang sempurna. Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan, di bawahnya mengalir sungai-sungai, dengan kebahagiaan yang tidak pernah pudar. Di sana tidak ada lagi rasa lapar, haus, letih, atau sedih. Segala doa yang dulu kita panjatkan di dunia akan diganti dengan balasan yang lebih baik dari yang pernah kita bayangkan. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Allah berfirman: Aku telah menyiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, surga adalah puncak kasih sayang Allah melalui sifat-Nya Ar-Rahīm, balasan agung yang menanti orang-orang beriman yang sabar, ikhlas, dan taat kepada-Nya.

Namun jama’ah sekalian, tidakkah kita merasa malu bahwa sering kali kita melupakan sifat Ar-Rahīm ini? Betapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mengejar dunia, tetapi sedikit sekali kita luangkan untuk mengingat Allah. Kita menikmati udara yang Allah berikan, rezeki yang Allah hamparkan, kesehatan yang Allah titipkan, tetapi sering kali kita tidak bersyukur dengan sebaik-baiknya. Kita tahu Allah itu Maha Penyayang, tetapi kita kadang masih berani bermaksiat, menunda taubat, bahkan enggan bersujud dengan khusyuk. Tidakkah ini menunjukkan betapa kita lupa akan rahmat yang begitu dekat? Oleh sebab itu, khutbah ini mengajak kita untuk merenung dalam-dalam: sudahkah kita benar-benar menghargai rahmat Ar-Rahīm yang melingkupi kita, atau justru kita sering mengabaikannya? Semoga renungan ini menggugah hati kita untuk kembali, agar kelak kita tidak termasuk orang-orang yang menyesal ketika kesempatan sudah tertutup.

Bayangkanlah, kita sering lalai, sering lupa, bahkan sering bermaksiat. Namun dengan sifat-Nya Ar-Rahīm, Allah masih memberi kita kesempatan untuk kembali, bertaubat, dan membuka lembaran baru. Inilah bukti bahwa Allah lebih sayang kepada kita daripada ibu kepada anaknya.

Jama’ah Jumat rahimakumullah,

Di antara kisah para ulama yang mengejar kasih sayang Allah, ada kisah Fudhail bin Iyadh yang sangat menyentuh hati. Konon, ia dahulu dikenal sebagai seorang perampok yang ditakuti. Malam-malamnya ia habiskan di jalanan, menakuti musafir dan mengambil harta mereka. Namun suatu malam yang sunyi, ketika langkah kakinya mengendap hendak melakukan kejahatan, telinganya menangkap suara lembut dari seorang hamba Allah yang sedang membaca Al-Qur’an. Ayat itu berbunyi: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?” (QS. Al-Hadid: 16).

Sekejap hatinya bergetar, kakinya seakan lemah, dan tubuhnya menggigil. Kata-kata itu menembus jiwanya seperti anak panah, menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menutup hatinya. Malam itu ia tidak lagi mencari mangsa, melainkan mencari ampunan. Dengan air mata yang mengalir deras, ia bersujud di tanah, merintih, memohon agar Allah tidak menutup pintu kasih sayang-Nya.

Sejak saat itu, hidup Fudhail berubah total. Hari-harinya dipenuhi dengan ibadah dan zikir, malam-malamnya dihiasi tangisan doa. Ia dikenal menangis begitu dalam hingga orang-orang di sekitarnya ikut tersentuh. Ia takut bukan pada pedang musuh, melainkan takut rahmat Allah menjauh darinya. Ia tidak lagi mengejar dunia, tetapi mengejar kasih sayang Allah semata.

Kisah ini menyayat hati kita, jama’ah sekalian. Betapa luas kasih sayang Allah melalui sifat-Nya Ar-Rahīm. Dosa sebesar apapun dapat dihapuskan, selagi hamba mau kembali. Tidakkah kita malu, yang mengaku beriman tetapi masih sering lalai? Maka marilah kita mengambil pelajaran dari Fudhail bin Iyadh: jangan pernah berputus asa, karena kasih sayang Allah selalu lebih besar dari dosa-dosa kita.

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah,

Dari semua renungan ini, marilah kita menutup khutbah dengan hati yang tunduk. Hidup kita hanyalah sebentar, namun kasih sayang Allah tidak pernah sebentar. Ia menemani kita sejak dalam kandungan, Ia melindungi kita ketika kita lalai, dan Ia selalu menunggu taubat kita dengan penuh kesabaran. Jangan sia-siakan kasih sayang itu dengan kelalaian dan dosa. Jadikanlah sifat Ar-Rahīm sebagai penuntun dalam setiap langkah, agar hidup kita lebih bermakna dan akhir kita husnul khatimah.

Doa: Ya Allah, Ya Rahmān, Ya Rahīm… lembutkan hati kami untuk selalu ingat kepada-Mu. Ampuni dosa-dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan dosa seluruh kaum muslimin. Jangan Kau palingkan kami dari jalan-Mu setelah Engkau beri petunjuk. Curahkan rahmat-Mu dalam hidup kami, wafatkan kami dalam keadaan husnul khatimah, dan kumpulkan kami kelak di surga-Mu bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan orang-orang saleh. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.

قُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُI

 Download : File Pdf Khutbah

Minggu, 24 Agustus 2025

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dalam kebaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Sahabat sekalian,
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa ikhlas adalah ruh dari setiap amal. Tanpa ikhlas, amal ibadah kita bagaikan tubuh tanpa nyawa. Ikhlas berarti beramal hanya karena Allah, bukan karena ingin dipuji manusia atau memperoleh keuntungan duniawi.

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Kalau kita lihat dari sisi sains, ikhlas bisa dipahami melalui beberapa pendekatan:

  1. Psikologi
    Dalam psikologi modern, ikhlas mirip dengan intrinsic motivation (motivasi dari dalam diri). Orang yang berbuat karena ikhlas merasa puas, bahagia, dan lega tanpa harus dipuji orang lain. Sebaliknya, orang yang beramal karena dorongan luar sering kecewa bila tidak dihargai.

  2. Neurosains
    Penelitian otak menunjukkan bahwa ketika seseorang berbuat baik dengan tulus, otaknya mengaktifkan area yang menimbulkan rasa tenang dan bahagia, seperti ventral striatum. Tapi jika amal dilakukan demi pengakuan, otak justru menyalakan sistem “reward eksternal” yang cepat memudar sehingga butuh pengakuan lagi dan lagi.

  3. Kesehatan
    Ikhlas juga berdampak pada kesehatan. Orang yang berbuat baik dengan tulus mengalami penurunan hormon stres, sistem imun lebih kuat, dan kualitas hidup lebih baik. Sedangkan amal tanpa ikhlas sering menimbulkan tekanan batin, kelelahan, bahkan stres berkepanjangan.

  4. Ilmu Sosial
    Dalam teori motivasi, orang yang memiliki motivasi ikhlas lebih konsisten, tahan uji, dan tidak mudah putus asa meski tidak dihargai. Berbeda dengan orang yang hanya mencari pengakuan, mereka cenderung cepat menyerah bila tidak dipuji.

Beliau menukil sebuah hadits:

“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, semakin ikhlas kita dalam beramal, semakin besar nilai ibadah itu di sisi Allah dan semakin baik pula dampaknya bagi jiwa, raga, dan kehidupan kita.

Jamaah yang dimuliakan Allah,
Mari kita jaga hati agar senantiasa ikhlas. Karena amal yang sedikit tapi ikhlas, lebih mulia daripada amal besar yang dipenuhi riya. Semoga Allah menjaga hati kita agar senantiasa ikhlas dalam setiap amal.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

 

Pembukaan:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan sabar sebagai kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ.


Isi Kultum:

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa sabar adalah bagian dari iman yang sangat penting, bahkan beliau menyebut sabar sebagai separuh dari iman. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 153)

Sekarang mari kita lihat sabar dari berbagai pendekatan sains:


1. Psikologi – Sabar sebagai Self-Control

Dalam psikologi, sabar dipandang sebagai kemampuan mengendalikan diri (self-control). Orang yang sabar bisa menunda kesenangan sesaat demi tujuan besar. Penelitian menunjukkan, orang yang sabar lebih mudah sukses dalam pendidikan, karier, bahkan hubungan sosial. Maka, sabar bukan hanya nilai spiritual, tapi juga kunci kesuksesan hidup.


2. Neurosains – Peran Otak dalam Menahan Emosi

Dari sisi neurosains, saat kita marah lalu menahan diri, bagian otak yang bernama prefrontal cortex aktif. Bagian otak ini mengendalikan emosi dan membuat kita berpikir lebih rasional. Jadi, sabar sebenarnya adalah latihan otak untuk tetap tenang. Inilah mengapa Islam menganjurkan menahan amarah, karena itu memperkuat fungsi otak yang sehat.


3. Kesehatan – Dampak Fisiologis Sabar

Sabar juga menyehatkan tubuh. Dengan sabar, tingkat stres berkurang, hormon kortisol menurun, sehingga tubuh lebih rileks. Hal ini mencegah tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan gangguan kesehatan lainnya. Maka, sabar bukan hanya amal hati, tapi juga obat bagi tubuh.


4. Ilmu Sosial – Sabar dalam Interaksi dengan Sesama

Dalam ilmu sosial, sabar berperan menjaga harmoni. Orang sabar tidak cepat bereaksi negatif dalam konflik, sehingga lebih mudah menjaga hubungan baik dengan orang lain. Masyarakat yang anggotanya sabar akan lebih damai, solid, dan kuat. Jadi, sabar adalah fondasi kehidupan sosial yang sehat.


Penutup:
Jadi, sabar bukan hanya ajaran agama, tapi juga terbukti bermanfaat secara psikologis, neurologis, kesehatan, dan sosial. Mari kita latih diri untuk selalu bersabar, karena Allah ﷻ bersama orang-orang yang sabar.

Wallahu a’lam bish-shawab.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

 

Pembukaan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, kita masih diberikan nikmat iman, kesehatan, dan kesempatan untuk berkumpul. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ.

Dalil Qur’an
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
(QS. Ibrahim: 7)

Artinya: “Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepada kalian. Tetapi jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Penjelasan dari Ihya Ulumuddin
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa syukur bukan hanya ucapan alhamdulillah, tetapi juga melibatkan hati dan amal. Syukur dengan hati adalah menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Syukur dengan lisan adalah memuji-Nya. Syukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah.


Pendekatan Sains

  1. Psikologi
    Dalam psikologi, syukur dipahami sebagai emosi positif yang membuat manusia lebih bahagia dan mampu melihat sisi baik dari hidup. Orang yang terbiasa bersyukur lebih jarang mengalami stres, depresi, dan rasa iri hati.
    📌 Contoh sehari-hari: Menuliskan 3 hal kecil yang membuat kita senang hari ini, misalnya: bisa sarapan bersama keluarga, ada teman yang menyapa, atau badan sehat tanpa sakit.

  2. Neurosains
    Dari sisi neurosains, ketika seseorang bersyukur, otak mengaktifkan sistem penghargaan dan melepaskan hormon dopamin serta serotonin, yang membuat seseorang merasa lebih tenang dan bersemangat.
    📌 Contoh sehari-hari: Saat kita mengucapkan alhamdulillah setelah mendapat nilai ujian yang bagus, rasa lega dan senang itu muncul karena syukur memicu pelepasan hormon bahagia di otak.

  3. Kesehatan Fisik
    Syukur juga berdampak pada kesehatan fisik. Orang yang terbiasa menerima keadaan dengan lapang dada memiliki daya tahan tubuh lebih baik, kadar tekanan darah lebih stabil, dan kualitas tidur yang lebih nyenyak.
    📌 Contoh sehari-hari: Orang yang menerima kondisi sakitnya dengan sabar dan tetap bersyukur biasanya lebih cepat pulih dibanding yang terus mengeluh.

  4. Ilmu Sosial
    Dalam ilmu sosial, sikap syukur menciptakan hubungan yang harmonis antarindividu. Orang yang bersyukur lebih rendah hati, tidak mudah iri, dan lebih mudah bergaul karena selalu menghargai orang lain.
    📌 Contoh sehari-hari: Seorang teman yang selalu bilang “terima kasih” dan tidak iri dengan pencapaian orang lain, biasanya lebih banyak sahabat dan lingkungannya lebih harmonis.


Penutup
Hadirin yang dirahmati Allah, mari kita biasakan bersyukur atas sekecil apa pun nikmat yang kita dapat. Karena syukur bukan hanya ibadah hati, tapi juga membawa manfaat nyata bagi jiwa, raga, dan hubungan sosial kita.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersyukur.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wallahu a’lam bish-shawab.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Jumat, 22 Agustus 2025


 Hasan al-Bashri dikenal sebagai seorang ulama besar dan sufi yang sangat zuhud. Dalam Ḥilyat al-Awliyāʼ, diceritakan bahwa suatu ketika beliau melihat seseorang membangun rumah yang sangat megah. Hasan lalu berkata:

"Wahai manusia, engkau membangun rumah dunia padahal engkau tidak tinggal lama di dalamnya. Andai saja engkau membangun rumah akhiratmu dengan amalan shaleh, tentu engkau akan tenang selamanya di sana."

Beliau sering menasihati murid-muridnya:

"Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan dari hari-harimu. Jika satu hari berlalu, maka berkuranglah bagian dari dirimu."

Pesan ini menunjukkan betapa beliau mengingatkan manusia agar tidak lalai dengan dunia. Hasan al-Bashri menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah perjalanan singkat menuju akhirat, dan yang abadi hanyalah amal shaleh.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

 

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. adalah sahabat paling mulia setelah Rasulullah ﷺ. Dalam kitab Hilyatul Auliya’, Imam Abu Nu‘aim banyak meriwayatkan kisah-kisah tentang ketakwaan, keteguhan iman, serta kezuhudan beliau.

Salah satu yang paling masyhur adalah ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabat untuk bersedekah. Umar bin Khattab r.a. datang membawa separuh hartanya, dengan penuh semangat ingin mengalahkan Abu Bakar. Namun, Abu Bakar datang dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah ﷺ pun bertanya:

"Wahai Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?"

Abu Bakar menjawab dengan penuh keyakinan:
"Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya."

Kisah ini menggambarkan betapa kuatnya iman Abu Bakar kepada Allah, hingga tidak ada sedikit pun keraguan dalam hatinya. Baginya, dunia hanya titipan, sementara akhirat adalah tujuan abadi.

Dalam Hilyatul Auliya’ juga disebutkan bahwa Abu Bakar sering menangis saat membaca Al-Qur’an. Suaranya yang lembut penuh tangisan membuat banyak orang tersentuh hingga masuk Islam. Ia adalah sosok yang hatinya dipenuhi rasa takut kepada Allah, meski jaminan surga telah diberikan oleh Rasulullah ﷺ.

Abu Nu‘aim meriwayatkan bahwa Abu Bakar berkata:
"Seandainya aku berada di atas sebuah pohon dan yakin tidak akan jatuh ke neraka, niscaya aku berharap diriku hanyalah sebatang pohon yang tidak dihisab."

Itulah kerendahan hati Abu Bakar. Meski gelarnya Ash-Shiddiq (yang selalu membenarkan Rasulullah ﷺ), beliau tetap merasa dirinya hamba yang hina di hadapan Allah.

Hikmah yang Bisa Diambil

  • Keimanan sejati ditunjukkan dengan pengorbanan, bahkan harta seluruhnya jika untuk Allah.

  • Zuhud bukan berarti miskin, tetapi hatinya tidak pernah terikat pada dunia.

  • Rendah hati dan rasa takut kepada Allah adalah ciri orang-orang yang benar-benar mengenal-Nya.

Rabu, 20 Agustus 2025


 Imam Malik bin Anas (93–179 H) adalah salah satu imam mazhab besar dalam Islam, pendiri Mazhab Maliki. Beliau lahir dan besar di Madinah, kota Nabi ﷺ, sehingga sejak kecil sudah tumbuh di lingkungan para ulama, perawi hadis, dan tabi‘in.

Salah satu kisah terkenal dari Imam Malik adalah tentang keteguhannya dalam menjaga Sunnah. Suatu ketika, Khalifah al-Manshur datang kepadanya dan berkata:

"Wahai Malik, aku ingin menyebarkan kitabmu (al-Muwaththa’) ke seluruh negeri, dan memerintahkan agar semua umat Islam mengikuti pendapatmu."

Imam Malik dengan rendah hati menolak. Beliau berkata:
"Jangan lakukan itu, wahai Amirul Mukminin. Sebab para sahabat Nabi telah menyebar ke berbagai negeri, dan di setiap negeri mereka membawa ilmu yang mereka dengar langsung dari Rasulullah ﷺ. Maka biarkan umat berpegang pada ilmu yang mereka terima."

Kisah ini menunjukkan betapa Imam Malik tidak mencari popularitas ataupun kekuasaan, meskipun beliau memiliki peluang besar. Baginya, yang lebih penting adalah menjaga keutuhan umat dan menghormati keragaman ilmu yang telah tersebar dari para sahabat.

Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis. Beliau pernah berkata:
"Aku tidak pernah berfatwa sebelum aku yakin benar bahwa itu adalah kebenaran. Sebab aku tahu, aku sedang menyampaikan hukum Allah."

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Imam Abu Hanifah, atau yang bernama lengkap Nu‘man bin Tsabit, adalah salah satu imam besar dalam Islam dan pendiri mazhab Hanafi. Beliau dikenal bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena ketekunan dan kekhusyukan ibadahnya.

Salah satu kisah yang terkenal dari beliau adalah kebiasaannya menjaga shalat malam. Diceritakan bahwa Abu Hanifah mampu menunaikan shalat Subuh dengan wudhu shalat Isya, artinya beliau tidak tidur sepanjang malam, melainkan sibuk beribadah kepada Allah.

Bukan hanya itu, beliau juga memiliki keistiqamahan luar biasa dalam tilawah Al-Qur’an. Imam Abu Hanifah bahkan pernah menamatkan Al-Qur’an seluruhnya dalam satu rakaat shalat. Kisah ini menunjukkan betapa besar cintanya kepada Al-Qur’an dan kedekatannya dengan Allah.

Selain ibadah pribadi, Abu Hanifah juga dikenal sangat berhati-hati dalam masalah halal dan haram. Dalam urusan muamalah, beliau selalu menjaga diri dari hal yang syubhat. Bahkan, beliau pernah menolak jabatan hakim meski ditawari oleh penguasa, karena takut tidak mampu menegakkan keadilan sepenuhnya di hadapan Allah.

Dari kisah Abu Hanifah, kita belajar tentang istiqamah dalam ibadah, cinta kepada Al-Qur’an, dan kehati-hatian dalam menjalani hidup. Beliau adalah teladan bagi setiap muslim untuk selalu menomorsatukan Allah dalam segala hal.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Selasa, 19 Agustus 2025

Imam Syafi‘i (150–204 H) adalah salah satu ulama besar dalam Islam yang meninggalkan warisan keilmuan sangat berharga. Beliau bukan hanya dikenal sebagai pendiri mazhab fikih, tetapi juga sosok yang memiliki kecerdasan luar biasa, adab yang tinggi, dan hati yang sangat dekat dengan Allah.

Sejak kecil, Imam Syafi‘i sudah menunjukkan keistimewaannya. Beliau hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun, dan hafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun. Kecintaannya pada ilmu membuat beliau rela menempuh perjalanan jauh demi berguru pada ulama-ulama besar di Mekah, Madinah, Kufah, hingga Mesir.

Adab Imam Syafi‘i dalam Menuntut Ilmu

Salah satu hal yang paling mengagumkan dari Imam Syafi‘i adalah adabnya terhadap guru. Ketika belajar kepada Imam Malik, beliau tidak berani membuka lembaran kitab di hadapan gurunya dengan suara keras, karena rasa hormat yang begitu tinggi. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan, setiap kali ingin membaca, beliau membalik lembaran dengan sangat pelan agar tidak mengganggu.

Adab ini menjadi teladan penting: bahwa keberkahan ilmu bukan hanya dari kecerdasan otak, tetapi juga dari ketulusan hati dan penghormatan terhadap guru.

Doa Imam Syafi‘i tentang Cahaya Ilmu

Imam Syafi‘i pernah mengadu kepada gurunya, Imam Waki‘, tentang sulitnya menghafal. Lalu beliau diberi nasihat agar menjauhi dosa, karena ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang bergelimang maksiat. Dari sini lahir syair beliau yang sangat masyhur:

“Aku mengadu kepada Waki‘ tentang buruknya hafalanku,
Lalu beliau menasihatiku agar meninggalkan maksiat.
Ilmu itu cahaya,
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Syair ini hingga kini menjadi pegangan banyak penuntut ilmu. Bahwa menjaga hati, menjaga pandangan, dan menjauhi dosa adalah kunci agar ilmu mudah masuk ke dalam jiwa.

Warisan Keilmuan

Imam Syafi‘i dikenal sebagai sosok yang menggabungkan kekuatan dalil dari Al-Qur’an dan hadis dengan kemampuan analisis fikih yang tajam. Mazhab beliau tersebar luas hingga kini, dipelajari di berbagai pesantren, madrasah, dan lembaga pendidikan Islam di seluruh dunia.

Lebih dari itu, Imam Syafi‘i mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan hanya untuk memperkaya wawasan, melainkan juga untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pelajaran dari Imam Syafi‘i

Dari kisah hidup Imam Syafi‘i, kita bisa mengambil beberapa pelajaran berharga:

  1. Semangat belajar sejak dini – beliau hafal Qur’an dan kitab hadis di usia muda.

  2. Adab lebih utama dari sekadar kecerdasan – hormat kepada guru adalah kunci keberkahan ilmu.

  3. Menjauhi maksiat agar mudah menerima ilmu – karena ilmu adalah cahaya Allah.

  4. Ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah – bukan untuk kesombongan atau dunia semata.

Imam Syafi‘i bukan hanya seorang ahli fikih, tetapi juga teladan akhlak dan spiritualitas. Hingga kini, namanya harum sebagai ulama besar yang cintanya pada ilmu menjadi cahaya bagi umat.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Ibrahim bin Adham dulunya adalah seorang raja besar di Balkh (wilayah Khurasan). Ia hidup dengan kemewahan, dikelilingi oleh prajurit, harta, dan kesenangan dunia.

Namun suatu malam, ia mendengar suara di atap istananya:

“Wahai Ibrahim, engkau bukan diciptakan untuk ini. Bukan untuk bersenang-senang dengan dunia, tapi untuk beribadah kepada Allah.”

Suara itu membuatnya gelisah. Hingga suatu hari, saat ia berburu, ia mendengar panggilan:

“Apakah engkau diciptakan untuk ini, wahai Ibrahim? Apakah engkau diperintahkan untuk ini?”

Sejak saat itu hatinya tersentuh. Ia meninggalkan tahta dan kemewahan, melepaskan pakaian kebesaran, dan memilih hidup sederhana sebagai seorang sufi zuhud.

Ibrahim kemudian berkelana, hidup dalam kesederhanaan, bekerja sebagai penggembala dan buruh tani, namun hatinya tenang dalam ibadah. Namanya harum sebagai wali Allah yang penuh dengan hikmah.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Senin, 18 Agustus 2025

Kalau biasanya orang ibadah karena pengen surga atau takut neraka, beda banget sama sosok sufi keren satu ini: Rābi‘ah al-‘Adawiyah. Beliau tuh perempuan hebat yang hidupnya bener-bener total buat Allah.

Rābi‘ah pernah berdoa gini:

“Ya Allah, kalau aku ibadah cuma karena takut neraka, masukkan aja aku ke dalamnya. Kalau aku ibadah karena ingin surga, jangan kasih surga itu buatku. Tapi kalau aku ibadah karena cinta sama-Mu, maka jangan pernah Engkau jauhkan aku dari-Mu.”

Gila nggak sih? Itu doa bikin merinding banget. Bayangin aja, ibadahnya bukan karena reward atau punishment, tapi pure karena cinta. ❤️

Dari Rābi‘ah kita belajar, kalau cinta sama Allah itu bikin semua ibadah kerasa ringan. Nggak ada beban, yang ada malah rasa bahagia. Ibaratnya kayak orang jatuh cinta — semua terasa indah, semua rela dilakukan.

Jadi, jangan cuma ibadah karena “takut dosa” atau “pengen pahala”, tapi coba naik level: ibadah karena cinta. Dan cinta itu, bro-sis, yang bikin kita kuat berdiri meski hidup sering jatuh-bangun.

Download : 

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid I

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid II

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid III

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid IV


Dalam kitab Hilyatul Auliya’, terdapat banyak kisah yang penuh hikmah dan menyentuh hati. Salah satunya adalah kisah tentang Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama besar yang terkenal dengan kezuhudannya.

Suatu malam, seorang pencuri masuk ke rumah beliau dengan maksud mencuri harta benda. Namun, ketika ia mencari ke seluruh sudut rumah, ternyata tidak ada apa-apa yang bisa diambil. Rumah sang ulama memang sederhana, nyaris kosong dari harta dunia.

Alih-alih marah atau mengusir pencuri itu, Fudhail bin ‘Iyadh justru berkata dengan tenang:
"Kalau engkau tidak menemukan sesuatu di rumahku, jangan kecewa. Aku akan doakan semoga Allah memberimu rezeki yang halal."

Kemudian beliau pun berdoa dengan tulus untuk si pencuri.

Pelajaran yang bisa kita ambil:

  • Dari kisah ini kita belajar tentang lapang hati. Bahkan ketika dizalimi, Fudhail tidak membalas dengan keburukan.

  • Beliau mengajarkan kita untuk melihat musibah dari sisi kebaikan: mungkin pencuri itu bukan orang jahat, tapi sedang terhimpit keadaan.

  • Doa yang baik bisa lebih menyentuh hati seseorang dibandingkan marah atau menghukumnya.

Kisah ini mengajarkan bahwa para wali Allah memiliki hati yang penuh kasih sayang, bahkan kepada mereka yang berbuat salah. Inilah akhlak para ulama yang seharusnya menjadi teladan bagi kita semua.

Download : 

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid I

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid II

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid III

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid IV

Kamis, 14 Agustus 2025

 


Hasan al-Bashri adalah salah satu ulama besar pada masa tabi‘in yang dikenal dengan ilmunya yang luas, tutur kata yang penuh hikmah, dan ibadahnya yang luar biasa. Nama beliau selalu disebut dengan penuh hormat, baik oleh murid-muridnya maupun para ulama setelahnya.

Namun, di balik sosoknya yang penuh wibawa, ada rahasia ibadah malam yang membuat hati bergetar saat mendengarnya.

Diceritakan dalam Hilyat al-Awliyā’, Hasan al-Bashri sering menghabiskan malamnya untuk shalat dan berdoa di hadapan Allah. Ketika sebagian besar orang sudah tertidur pulas, beliau justru larut dalam munajat yang panjang. Air matanya tak berhenti mengalir membasahi pipinya.

Suatu malam, seseorang bertanya kepadanya,

“Wahai Hasan, kenapa engkau menangis seperti ini?”

Beliau menjawab,

“Aku takut… ketika aku berdiri di hadapan Allah nanti, aku tidak tahu… apakah aku termasuk penduduk surga atau penduduk neraka.”

Jawaban itu membuat siapa pun yang mendengarnya tersentuh. Seorang ulama besar yang ilmunya begitu tinggi pun masih merasa takut akan hisab di akhirat, dan tidak merasa aman dari dosa-dosanya.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa rasa takut kepada Allah (khauf) adalah tanda hati yang hidup. Semakin tinggi iman seseorang, semakin ia sadar betapa besar tanggung jawabnya di hadapan Allah kelak.

Pelajaran yang bisa kita ambil:

  • Ilmu yang bermanfaat selalu diiringi dengan ketakwaan.

  • Orang yang benar-benar beriman tidak merasa aman dari azab Allah.

  • Bangun di malam hari untuk bermunajat adalah cara melembutkan hati.

Semoga kita bisa meneladani Hasan al-Bashri dalam memperbanyak ibadah malam dan menjaga hati agar selalu dekat dengan Allah.

DOWNLOAD :

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid I

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid II

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid III

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid IV

                          


 

Umar bin Khattab r.a. dikenal sebagai salah satu khalifah yang paling tegas dan pemberani. Namanya membuat musuh-musuh Islam gentar, dan keadilannya menjadi teladan sepanjang masa. Namun di balik ketegasan itu, tersimpan hati yang sangat lembut jika berhadapan dengan ayat-ayat Allah.

Dalam kitab Hilyat al-Awliyā’ karya Abu Nu‘aym al-Aṣfahānī, diceritakan sebuah kisah yang menggambarkan betapa mendalamnya rasa takut Umar kepada Allah.

Suatu hari, Umar sedang membaca ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang azab Allah bagi orang-orang yang ingkar. Ayat itu membuatnya tertegun. Pikirannya seakan langsung tertuju pada hari kiamat, ketika manusia berdiri di hadapan Allah untuk dihisab. Rasa takut yang luar biasa itu membuat Umar jatuh pingsan.

Bukan hanya sebentar, pingsan itu berlanjut menjadi sakit selama beberapa hari. Para sahabat sampai menjenguknya karena khawatir dengan kondisinya. Bayangkan, seorang khalifah yang gagah dan disegani, bisa begitu rapuh ketika mengingat akhirat.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati bukan hanya ada pada fisik atau jabatan, tapi pada kelembutan hati di hadapan Sang Pencipta. Sebesar apapun kita di dunia, kita hanyalah hamba yang bergantung kepada rahmat-Nya.

Pelajaran yang bisa diambil:

  • Ilmu dan jabatan bukan alasan untuk merasa aman dari azab Allah.

  • Hati yang lembut kepada Allah adalah ciri orang beriman.

  • Membaca Al-Qur’an seharusnya menggerakkan hati, bukan sekadar melafalkan kata.

Semoga kita bisa meneladani rasa takut dan kekhusyukan Umar bin Khattab, agar hidup kita selalu terarah kepada ridha Allah.

DOWNLOAD : 

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid I

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid II

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid III

Terjemah Hilyatul Auliya Jilid IV