Khutbah Pertama
الحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي تَفَرَّدَ بِالْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا، نَحْمَدُهُ
حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
Amma
ba’du,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam,
yang dengan kelembutan kasih sayang-Nya kita masih diberi nafas kehidupan
hingga saat ini. Dialah yang menciptakan langit yang luas tanpa tiang,
menghamparkan bumi sebagai tempat berpijak, dan menundukkan segala sesuatu agar
menjadi tanda kekuasaan-Nya bagi kita yang mau merenung. Kita memuji-Nya dengan
segenap jiwa, kita mengagungkan-Nya dengan segenap hati, sebab tidak ada nikmat
yang kita rasakan melainkan berasal dari limpahan rahmat-Nya.
Shalawat serta salam marilah kita curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sosok penuh kasih yang menuntun manusia keluar dari
gelapnya kebodohan menuju cahaya iman. Semoga kita termasuk umat yang
senantiasa mengikuti jejaknya, hingga kelak di hari kiamat mendapatkan syafa‘at
dan naungan rahmatnya.
selanjutnya......
Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah
dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, agar hidup
kita dipenuhi dengan keberkahan. Takwa bukanlah sekadar ucapan di lisan, tetapi
kesadaran penuh dalam hati bahwa Allah senantiasa melihat kita di mana pun kita
berada. Takwa berarti menjaga hati agar tetap bersih dari kesombongan, menjaga
lisan dari kata-kata yang menyakiti, serta menjaga anggota tubuh dari perbuatan
dosa. Dengan takwa, seorang hamba menimbang setiap langkahnya: apakah perbuatan
ini mendekatkan dirinya kepada Allah atau justru menjauhkannya. Bila kita
berusaha menanamkan takwa dalam keseharian—dari perkara kecil seperti
kejujuran, hingga perkara besar seperti menegakkan shalat dan menunaikan
zakat—maka hidup kita akan lebih terarah, tenang, dan penuh keberkahan. Inilah
bekal utama yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.
Jama’ah Jumat yang dimuliakan Allah,
Hari ini kita akan merenungkan salah satu dari nama Allah
yang agung: Ar-Rahīm. Jika Ar-Rahmān adalah kasih sayang Allah
yang meliputi seluruh makhluk-Nya di dunia, maka Ar-Rahīm adalah kasih
sayang khusus yang Allah curahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat,
baik di dunia maupun di akhirat.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ
مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan
kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang
yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini
menegaskan kasih sayang Allah yang sangat khusus bagi kaum mukminin. Allah
memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, pertolongan, dan ampunan di dunia, serta
kenikmatan abadi di akhirat. Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa sifat Rahīm
menunjukkan kedekatan Allah dengan hamba-hamba yang taat, sebab Dia tidak hanya
mencurahkan rahmat umum sebagaimana sifat Rahmān, melainkan juga rahmat
khusus yang menjadi penenang hati bagi orang-orang beriman. Maka ayat ini
mengingatkan kita bahwa semakin kuat iman dan amal kita, semakin dekat pula
kita dengan limpahan rahmat Allah yang tiada terputus.
Jama’ah Jumat yang dimuliakan Allah,
Jika kita melihat ke dalam ilmu biologi, kita akan
menemukan sebuah keajaiban yang menjadi cermin kasih sayang Allah, yaitu rahim
seorang ibu. Kata rahim sendiri berasal dari akar kata yang sama dengan Ar-Rahīm,
seakan menunjukkan betapa lembut dan penuh kasihnya perlindungan Allah terhadap
makhluk-Nya. Di dalam rahim, janin tumbuh dengan penuh penjagaan: diberi
nutrisi, oksigen, dan lingkungan yang aman, meski ia begitu lemah dan tak
berdaya. Semua itu bukanlah kebetulan, melainkan tanda kasih sayang Allah yang
nyata, yang bisa dirasakan bahkan sebelum manusia lahir ke dunia. Maka
sebagaimana rahim seorang ibu melindungi dan menyayangi anaknya, demikianlah
Allah dengan sifat-Nya Ar-Rahīm melindungi, menyayangi, dan membimbing
hamba-hamba-Nya yang beriman.
Kasih sayang Allah dalam sifat Ar-Rahīm ini bukanlah
kasih sayang yang umum untuk semua, melainkan rahmat yang istimewa, yang
dirasakan oleh orang-orang yang menjaga shalatnya, yang berusaha ikhlas dalam
amalnya, dan yang selalu memohon ampunan kepada-Nya. Rahmat ini hadir dalam
bentuk ketenangan hati ketika mereka berdzikir, keberkahan dalam rezeki yang
halal meskipun sedikit, dan kekuatan untuk bangkit setiap kali jatuh dalam
dosa. Bahkan dalam setiap ujian, hamba yang mendapat rahmat Ar-Rahīm akan merasakan
kelembutan Allah, sebab di balik kesedihan dan cobaan, ada kasih sayang yang
mendidik jiwa agar semakin kuat. Inilah rahmat yang tidak bisa dibeli dengan
harta, tidak bisa digapai dengan jabatan, tetapi hanya dirasakan oleh hati-hati
yang tunduk kepada Allah. Maka beruntunglah orang-orang yang menjaga shalatnya,
yang tidak lelah memohon ampunan, karena di situlah mereka sedang mengetuk
pintu kasih sayang Allah yang tiada terputus.
Ketahuilah bahwa balasan bagi umat Islam yang beriman dan
beramal saleh di akhirat nanti adalah rahmat yang sempurna. Allah menjanjikan
surga yang penuh kenikmatan, di bawahnya mengalir sungai-sungai, dengan
kebahagiaan yang tidak pernah pudar. Di sana tidak ada lagi rasa lapar, haus,
letih, atau sedih. Segala doa yang dulu kita panjatkan di dunia akan diganti
dengan balasan yang lebih baik dari yang pernah kita bayangkan. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Allah berfirman: Aku telah menyiapkan bagi hamba-hamba-Ku
yang saleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah
didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Maka, surga adalah puncak kasih sayang Allah melalui
sifat-Nya Ar-Rahīm, balasan agung yang menanti orang-orang beriman yang sabar,
ikhlas, dan taat kepada-Nya.
Namun jama’ah sekalian, tidakkah kita merasa malu bahwa
sering kali kita melupakan sifat Ar-Rahīm ini? Betapa banyak waktu yang kita
habiskan untuk mengejar dunia, tetapi sedikit sekali kita luangkan untuk
mengingat Allah. Kita menikmati udara yang Allah berikan, rezeki yang Allah
hamparkan, kesehatan yang Allah titipkan, tetapi sering kali kita tidak
bersyukur dengan sebaik-baiknya. Kita tahu Allah itu Maha Penyayang, tetapi
kita kadang masih berani bermaksiat, menunda taubat, bahkan enggan bersujud dengan
khusyuk. Tidakkah ini menunjukkan betapa kita lupa akan rahmat yang begitu
dekat? Oleh sebab itu, khutbah ini mengajak kita untuk merenung dalam-dalam:
sudahkah kita benar-benar menghargai rahmat Ar-Rahīm yang melingkupi kita, atau
justru kita sering mengabaikannya? Semoga renungan ini menggugah hati kita
untuk kembali, agar kelak kita tidak termasuk orang-orang yang menyesal ketika
kesempatan sudah tertutup.
Bayangkanlah, kita sering lalai, sering lupa, bahkan
sering bermaksiat. Namun dengan sifat-Nya Ar-Rahīm, Allah masih memberi kita
kesempatan untuk kembali, bertaubat, dan membuka lembaran baru. Inilah bukti
bahwa Allah lebih sayang kepada kita daripada ibu kepada anaknya.
Jama’ah
Jumat rahimakumullah,
Di
antara kisah para ulama yang mengejar kasih sayang Allah, ada kisah Fudhail bin
Iyadh yang sangat menyentuh hati. Konon,
ia dahulu dikenal sebagai seorang perampok yang ditakuti. Malam-malamnya ia
habiskan di jalanan, menakuti musafir dan mengambil harta mereka. Namun suatu
malam yang sunyi, ketika langkah kakinya mengendap hendak melakukan kejahatan,
telinganya menangkap suara lembut dari seorang hamba Allah yang sedang membaca
Al-Qur’an. Ayat itu berbunyi: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?” (QS. Al-Hadid: 16).
Sekejap hatinya bergetar, kakinya seakan lemah, dan
tubuhnya menggigil. Kata-kata itu menembus jiwanya seperti anak panah,
menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menutup hatinya. Malam
itu ia tidak lagi mencari mangsa, melainkan mencari ampunan. Dengan air mata
yang mengalir deras, ia bersujud di tanah, merintih, memohon agar Allah tidak
menutup pintu kasih sayang-Nya.
Sejak
saat itu, hidup Fudhail berubah total. Hari-harinya dipenuhi dengan ibadah dan zikir, malam-malamnya dihiasi
tangisan doa. Ia dikenal menangis begitu dalam hingga orang-orang di sekitarnya
ikut tersentuh. Ia takut bukan pada pedang musuh, melainkan takut rahmat Allah
menjauh darinya. Ia tidak lagi mengejar dunia, tetapi mengejar kasih sayang
Allah semata.
Kisah ini menyayat hati kita, jama’ah sekalian. Betapa
luas kasih sayang Allah melalui sifat-Nya Ar-Rahīm. Dosa sebesar apapun dapat
dihapuskan, selagi hamba mau kembali. Tidakkah kita malu, yang mengaku beriman
tetapi masih sering lalai? Maka marilah kita mengambil pelajaran dari Fudhail
bin Iyadh: jangan pernah berputus asa, karena kasih sayang Allah selalu lebih
besar dari dosa-dosa kita.
Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah,
Dari semua renungan ini, marilah kita menutup khutbah
dengan hati yang tunduk. Hidup kita hanyalah sebentar, namun kasih sayang Allah
tidak pernah sebentar. Ia menemani kita sejak dalam kandungan, Ia melindungi
kita ketika kita lalai, dan Ia selalu menunggu taubat kita dengan penuh
kesabaran. Jangan sia-siakan kasih sayang itu dengan kelalaian dan dosa.
Jadikanlah sifat Ar-Rahīm sebagai penuntun dalam setiap langkah, agar hidup
kita lebih bermakna dan akhir kita husnul khatimah.
Doa: Ya
Allah, Ya Rahmān, Ya Rahīm… lembutkan hati kami untuk selalu ingat kepada-Mu.
Ampuni dosa-dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan dosa seluruh kaum
muslimin. Jangan Kau palingkan kami dari jalan-Mu setelah Engkau beri petunjuk.
Curahkan rahmat-Mu dalam hidup kami, wafatkan kami dalam keadaan husnul
khatimah, dan kumpulkan kami kelak di surga-Mu bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan orang-orang saleh. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
قُوْلُ
قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُI
Download : File Pdf Khutbah