Just another free Blogger theme

Random Posts

Baca-bacamo

blog tes ombak

Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

JamoSiko

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pengikut

Penayangan bulan lalu

Find Us On Facebook

Random Posts

Recent Posts

Video Of Day

Popular Posts

Kamis, 18 September 2025


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, serta seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dirahmati Allah,

Pernahkah kita bertanya: Apakah zuhud berarti meninggalkan dunia sama sekali? Banyak orang keliru memahami zuhud sebagai hidup miskin, lusuh, dan tidak memiliki apa-apa. Padahal, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti menolak harta, jabatan, atau kenikmatan dunia. Zuhud adalah ketika hati tidak terpaut pada dunia, meskipun tangan kita memilikinya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ

“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)

Para ulama menafsirkan hadits ini dengan menjelaskan bahwa zuhud adalah sikap hati yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Ibnul Qayyim menegaskan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki harta, tetapi zuhud adalah ketika harta tidak menguasai hatimu.” Dengan demikian, seorang kaya pun bisa zuhud jika hatinya selalu terikat pada Allah.

Contoh dalam kehidupan sehari-hari, seorang pedagang yang jujur tidak menaikkan harga dengan zalim meski punya kesempatan, karena ia tahu rezeki datang dari Allah, bukan dari tipu daya. Atau seorang pejabat yang tidak korupsi meski ada peluang, karena hatinya zuhud terhadap jabatan dan lebih takut pada Allah.

Tips Agar Bisa Zuhud Menurut Ulama:

  1. Mengingat kefanaan dunia. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan abadi.

  2. Membiasakan hati dengan qana’ah. Menurut Imam Al-Ghazali, merasa cukup adalah kunci kekayaan sejati yang membuat hati tidak tergantung pada dunia.

  3. Perbanyak ibadah sunnah. Ulama salaf mengajarkan bahwa memperbanyak amal akhirat membuat hati lebih condong pada Allah dibanding pada dunia.

  4. Meninggalkan hal-hal yang berlebihan. Imam Ahmad bin Hanbal menyarankan agar seorang muslim tidak berlebihan dalam makan, pakaian, dan harta, agar hati tetap lembut dan zuhud.

  5. Bersahabat dengan orang-orang saleh. Menurut Al-Ghazali, lingkungan yang baik akan memengaruhi hati agar lebih ringan dalam berzuhud.


Penutup

Jamaah yang dimuliakan Allah, zuhud bukan berarti miskin dan menolak dunia, tetapi menempatkan dunia hanya sebagai jalan menuju akhirat. Mari kita isi hati dengan qana’ah, memperbanyak ibadah, dan mengingat kefanaan dunia, agar kita dicintai Allah dan dimuliakan manusia.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Download Full

Dalam sejarah tasawuf, ada satu nama yang selalu dikenang: Dzun Nun al-Mishri (w. 859 M). Beliau berasal dari Mesir dan dikenal sebagai salah satu sufi besar yang hidup dengan penuh cinta kepada Allah. Namanya sering disebut dalam kitab Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.

Jejak Kehidupan

Dzun Nun bukan hanya seorang ahli ibadah, tapi juga seorang yang cerdas dan penuh kebijaksanaan. Ia banyak berkelana, menuntut ilmu, dan bertemu dengan ulama-ulama besar pada zamannya. Karena keluasan ilmunya, beliau sering dijadikan tempat bertanya oleh para pencari ilmu dan para pejalan ruhani.

Tuduhan dan Penjara

Pernah suatu ketika, Dzun Nun dituduh menyebarkan ajaran sesat. Ia ditangkap dan dipenjara. Namun, justru di dalam penjara, banyak orang mendatanginya untuk meminta nasihat. Sikap sabar dan kata-katanya yang penuh hikmah membuat orang-orang sadar bahwa beliau adalah wali Allah yang sejati. Akhirnya, para ulama besar membenarkan keilmuannya dan namanya kembali dimuliakan.

Hikmah Dzun Nun

Salah satu ucapannya yang terkenal adalah ketika beliau ditanya: “Dengan apa seorang hamba bisa mengenal Tuhannya?”
Dzun Nun menjawab:
👉 “Dengan tiga hal: meninggalkan dunia, mengamalkan ilmu, dan mengatur amal sesuai dengan syariat.”

Jawaban ini sederhana, tapi mendalam. Beliau menekankan bahwa jalan menuju Allah bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi juga kesungguhan hati dalam membersihkan niat, menjauhi kesenangan dunia yang melalaikan, serta menjaga amalan agar sesuai dengan tuntunan agama.

Warisan Spiritual

Dzun Nun al-Mishri meninggalkan jejak yang besar dalam dunia tasawuf. Dari beliau, kita belajar tentang kesabaran menghadapi ujian, kesetiaan dalam ibadah, dan ketulusan cinta kepada Allah. Sosoknya menjadi inspirasi bagi banyak generasi setelahnya.


✍️ Pelajaran untuk kita:
Dzun Nun mengajarkan bahwa ibadah sejati adalah ketika hati benar-benar terikat kepada Allah, bukan hanya karena kebiasaan atau formalitas.


Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Download Full

 


Khutbah Pertama

الحمد لله المؤمن، الذي أرسل الرسل بالبينات ليخرج الناس من الظلمات إلى النور بإذن ربهم، نحمده على نعمه التي لا تحصى، ونشكره على فضله الذي لا ينفد، ونعوذ به من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.

Amma ba’du,

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Segala puji hanya bagi Allah, Dzat yang memberi rasa aman kepada hati-hati yang beriman. Dialah Al-Mu’min, yang meneguhkan jiwa di saat goncangan, yang menurunkan ketenangan di tengah ketakutan, dan yang memberi cahaya iman dalam hati hamba-hamba-Nya.

Shalawat serta salam mari kita curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, yang hidupnya menjadi teladan penuh keyakinan, lisannya penuh kebenaran, dan hatinya dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita tergolong umat yang mengikuti jejak langkahnya, hingga beroleh syafaatnya di hari akhir nanti.

Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk selalu bertakwa kepada Allah. Takwa adalah benteng yang melindungi kita dari kebinasaan, cahaya yang menuntun kita dalam kegelapan, dan penopang yang menguatkan langkah kita di dunia. Jangan biarkan hati kita kosong dari takwa, sebab tanpa takwa, dunia ini hanyalah gurun tandus yang menyesatkan.


Narasi Pembuka

Filsuf Barat banyak berbicara tentang makna iman dan rasa aman. Plato menganggap iman sebagai bentuk keyakinan pada kebenaran yang lebih tinggi dari realitas duniawi. Dalam pandangannya, iman melahirkan rasa aman karena jiwa terhubung dengan kebenaran yang abadi.

Aristoteles melihat iman dalam konteks etika sebagai keyakinan yang melahirkan keberanian moral. Bagi dia, orang yang beriman pada kebenaran akan memiliki rasa aman dalam dirinya, sebab ia berdiri di atas keyakinan yang tidak mudah goyah.

Sementara itu, filsuf modern seperti Kierkegaard menekankan bahwa iman adalah lompatan eksistensial: menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan meski akal terbatas. Dari iman itulah lahir rasa aman sejati, sebab hati bersandar pada kekuatan yang tak terbatas.


Definisi Ulama

Namun para ulama Islam menegaskan bahwa Al-Mu’min adalah nama Allah yang berarti Dia-lah yang memberi keamanan dan rasa aman kepada hamba-Nya. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Al-Mu’min adalah yang meneguhkan hati dengan iman, yang menyelamatkan hamba dari rasa takut, dan yang menjamin keselamatan di dunia dan akhirat.


Dalil Al-Qur’an

Allah berfirman:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
(QS. Al-Hashr: 23)

“Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”


Tafsir dan Penjelasan

Para mufassir menjelaskan bahwa Allah disebut Al-Mu’min karena Dia yang meneguhkan hamba-hamba-Nya dengan iman, dan Dia pula yang memberi rasa aman dari segala rasa takut. Ibn Katsir menafsirkan bahwa Allah menjaga hamba-Nya dari kezaliman dan memberi mereka keamanan di dunia serta keselamatan di akhirat.

Dengan demikian, rasa aman sejati tidak datang dari harta, jabatan, atau kekuatan, melainkan dari Allah Al-Mu’min yang menenangkan hati dan menjaga hamba-Nya.


Keamanan seperti apa yang Allah berikan?

Pertama, Allah memberi keamanan lahiriah. Berapa banyak dari kita yang bisa tidur dengan nyenyak malam ini tanpa rasa takut? Itu adalah nikmat keamanan dari Allah. Lihatlah saudara-saudara kita di negeri yang dilanda konflik, mereka kehilangan rasa aman, sementara kita masih bisa beribadah dengan tenang. Bukankah ini karunia besar? Betapa sering kita menganggap remeh nikmat keamanan ini, padahal tanpa keamanan, harta tidak berarti, kesehatan tidak terasa nikmat, bahkan ibadah pun menjadi sulit. Maka, hendaknya kita selalu bersyukur atas penjagaan Allah yang melindungi kita dari bahaya yang tak terlihat maupun yang tampak.

Kedua, Allah memberi keamanan batin. Banyak orang kaya raya, namun hatinya penuh kecemasan. Sebaliknya, ada orang sederhana yang hidupnya tenang karena Allah menurunkan sakinah di dalam hatinya. Inilah keamanan yang tak bisa dibeli, hanya Allah yang mampu memberikannya. Hati yang tenteram adalah karunia terbesar, sebab tanpa ketenangan, dunia yang luas terasa sempit. Hati yang dipenuhi iman akan kuat menghadapi cobaan, tetap sabar ketika kehilangan, dan tetap bersyukur ketika mendapat nikmat. Inilah keamanan batin yang sejati, sebuah anugerah yang sering diabaikan manusia.

Ketiga, Allah memberi keamanan di akhirat. Bagi orang beriman, Allah menjanjikan surga, tempat yang penuh keselamatan. Tidak ada rasa takut, tidak ada kesedihan, hanya kedamaian abadi. Itulah balasan tertinggi dari Allah Al-Mu’min bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Keselamatan di akhirat jauh lebih besar daripada keselamatan di dunia, karena kehidupan dunia hanyalah sementara. Di akhirat kelak, setiap jiwa akan merasakan keamanan yang sempurna, tanpa rasa sakit, tanpa kesusahan, hanya kebahagiaan yang abadi di sisi Allah. Inilah tujuan tertinggi seorang mukmin, dan inilah janji Allah yang pasti benar.

Allah lah yang memberi rasa aman pada nabi ibrahim di tengah kobaran api, dengan firmanya: “Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69). Api yang semestinya membakar, justru menjadi penyejuk berkat perlindungan Allah Al-Mu’min.

Allah lah yang membelah lautan untuk nabi musa yang tengah jadi incaran Fir’aun dan tentaranya hingga terhimpit laut di lepas, hingga Fir’aun yang penuh kesombongan justru binasa di tempat yang sama.

Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pun sarat dengan contoh penjagaan Allah. Saat beliau bersembunyi di gua Tsur bersama Abu Bakar, para musyrikin mengepung hingga di depan pintu. Namun Allah menurunkan rasa aman, menutupi pandangan mereka, hingga beliau selamat. Allah berfirman: “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40).

Semua kisah ini adalah cermin bahwa rasa aman sejati hanya dari Allah, bukan dari kekuatan fisik atau perlindungan manusia. Jika Allah menjaga, maka tidak ada satu pun makhluk yang bisa mencelakakan.

Renungan

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Apakah selama ini kita sudah benar-benar menjadikan Allah sebagai sumber rasa aman? Ataukah kita lebih bergantung pada kekayaan, jabatan, atau teknologi untuk merasa tenang? Bukankah semua itu rapuh dan bisa hilang dalam sekejap?

Tidakkah kita sadar, bahwa hati ini sering lebih percaya pada angka tabungan di bank daripada pada janji Allah? Tidakkah kita malu, ketika kita lebih merasa aman karena rumah yang kokoh, tetapi lalai dari doa yang tulus? Renungkanlah, kepada siapa sebenarnya kita bersandar.


Penutup

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Khutbah ini ingin menegaskan bahwa hanya Allah Al-Mu’min yang bisa mendatangkan rasa aman sejati di dalam hati. Harta bisa musnah, kekuasaan bisa runtuh, bahkan orang terdekat bisa pergi, namun Allah tetap setia menjaga hamba-Nya.

Semoga kita menjadi hamba yang selalu menyandarkan rasa aman hanya kepada Allah, sehingga hidup kita dipenuhi dengan ketenangan, dan akhir kita ditutup dengan husnul khatimah.

  Download : File Pdf Khutbah

Baca juga ini

Jumat, 05 September 2025

 


Rabi’ bin Khutsaim dikenal sebagai seorang tabi’in yang sangat zuhud dan selalu menjaga lisannya. Beliau jarang bicara kecuali yang bermanfaat. Abdullah bin Mas’ud sampai pernah berkata:

“Seandainya Rasulullah ﷺ melihat Rabi’, beliau pasti mencintainya.”

Suatu ketika, ada orang yang berkata kepada Rabi’:
"Wahai Abu Yazid (kunyahnya), mengapa engkau selalu menundukkan pandanganmu?"
Rabi’ menjawab:
"Demi Allah, aku tidak tahu apa yang Allah akan lakukan terhadapku nanti."

Kisah lain yang masyhur, setiap malam Rabi’ bin Khutsaim shalat tahajjud dengan penuh tangisan. Sampai-sampai ibunya pernah berkata:
"Wahai anakku, tidakkah engkau tidur sejenak?"
Beliau menjawab dengan lembut:
"Ibu, neraka itu tidak memberi kesempatan orang untuk tidur nyenyak."


✨ Dari kisahnya, kita belajar tentang:

  1. Menjaga lisan – bicara seperlunya, agar terhindar dari dosa.

  2. Zuhud dan takut kepada Allah – selalu merasa belum cukup dalam ibadah.

  3. Kesungguhan ibadah malam – menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.

Rabi’ bin Khutsaim adalah teladan nyata tentang bagaimana seorang hamba bisa hidup sederhana, penuh rasa takut, tapi juga penuh cinta kepada Allah.

Download : Terjemah Hilyatul Auliya

Download Full


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Pernahkah kita merenung, berapa banyak dosa yang keluar dari lisan kita? Kadang kita merasa aman karena tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh, tetapi tanpa sadar lisan kita berghibah, berdusta, mencaci, atau menyakiti hati orang lain. Inilah yang diingatkan oleh para ulama sebagai dosa yang paling sering menjerumuskan manusia.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa lisan adalah nikmat sekaligus ujian besar. Banyak orang masuk surga karena lisannya yang selalu berzikir, tetapi tidak sedikit pula yang masuk neraka karena lisannya yang tak terjaga. Beliau menyebut ghibah, namimah (adu domba), dusta, dan ucapan sia-sia sebagai penyakit berbahaya dari lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Rasulullah ﷺ bersabda:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia dilemparkan ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka, kecuali karena hasil dari lisan mereka.” (HR. Tirmidzi)

Para ulama menjelaskan bahwa lisan adalah cermin hati. Jika hati baik, lisannya akan dipenuhi kebaikan. Namun jika hati kotor, lisan pun akan penuh keburukan. Karena itu menjaga lisan sama artinya dengan menjaga hati.

Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang sibuk dengan ibadah sunnah, tetapi mudah mencela dan menyakiti tetangganya. Ada pula yang gemar menolong, tetapi suka menyebar gosip sehingga merusak hubungan orang lain. Semua ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa lisan.

Tips Menjaga Lisan

  1. Perbanyak dzikir. Imam Al-Ghazali menjelaskan, lisan yang terbiasa dengan dzikir akan terjaga dari ucapan sia-sia.

  2. Diam bila tidak perlu bicara. Imam Syafi’i berkata, “Jika engkau ingin selamat, perbanyaklah diam, kecuali untuk kebaikan.”

  3. Pilih kata yang lembut. Ibnul Qayyim menegaskan, ucapan yang lembut bisa melembutkan hati dan menumbuhkan cinta.

  4. Jauhi majelis ghibah. Imam Nawawi menasihati, menjauhi lingkungan yang buruk adalah cara terbaik menjaga lisan.

  5. Ingat balasan akhirat. Ulama salaf selalu mengingatkan bahwa setiap kata akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.


Penutup

Jamaah yang dirahmati Allah, lisan adalah amanah besar. Mari kita isi lisan dengan dzikir, doa, dan ucapan yang baik, serta jauhi ghibah, fitnah, dan kata-kata kotor. Karena keselamatan seorang hamba banyak ditentukan oleh lisannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

📖 Rujukan: Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
👉 Download Terjemah Ihya Ulumuddin :

Jilid I

Jilid II

Jilid III

Jilid IV

Jilid V

Jilid VI

Jilid VII

Jilid VIII

Jilid IX

Download Full